BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah
menciptakan manusia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya
sebagai pengabdian kepada Allah. Aktivitas yang dimaksu dtersimpul dalam ayat
al-Qur’an yang menegaskan bahwa manusia adalah khalifah Allah. Manusia sebagai
khalifah Allah memikul beban yang sangat berat. Tugas ini dapat diaktualisasikan
jika manusia dibekali dengan pengetahuan. Hal itu bisa dipenuhi dengan proses
pendidikan[1].
Pendidikan adalah usaha atau proses perubahan dan
perkembangan manusia menuju kearah yang lebih baik dan sempurna. Adanya ungkapan
bahwa pendidikan merupakan proses perbaikan dan menuju kesempurnaan, hal itu mengandung
arti bahwa pendidikan bersifat dinamis karena jika kebaikan dan kesempurnaan tersebut
bersifat statis maka ia akan kehilangan nilai kebaikannya. Gerak dinamis yang continue telah
dilakukan oleh nabi dan membuahkan hasil berupa pembangunan peradaban Islam
yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat dunia saat itu dan bahkan hingga sekarang
ini.[2]
Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses
perubahan menuju arah positif. Dalam konteks sejarah perubahan yang positif ini
adalah jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad. Pendidikan
Islam dalam konteks perubahan kearah positif ini identik dengan kegiatan dakwah
yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Sejak
wahyu pertama diturunkan dengan program Iqra’ (membaca)
pendidikan Islam praksis telah lahir, berkembang, dan eksis dalam kehidupan umat
Islam yakni sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan menghadirkan Tuhan.
Pendidkan Islam terjadi sejak Nabi diangkat menjadi
Rasul di Makkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan Islam
mempunyai sejarah yang panjang, seiring dengan hal itu banyak bermunculan tokoh-tokoh
intelektual Muslim yang memiliki perhatian terhadap masalah pendidikan Islam. Beragam
pemikiran pendidikan Islam telah dihasilkan oleh para Ilmuwan Muslim, Waktu terus
berjalan, pendidikan pun terus berkembang bersama hiruk pikuk hidup dan kehidupan
insan. Problem-problem pendidikan pun bermunculan begitu cepat secepat cendawan
tumbuh di musim hujan. Ilmu pendidikan bertanggung jawab untuk memecahkan problem-problem
tersebut, untuk itu tidaklah ringan tanggung jawab yang diemban, karena begitu kompleks
problem-problem yang ada di dunia pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun
meminta pertolongan padapihak lain, pihak filsafat pendidikan, karena problem
yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan sudah memasuki wilayah atau lingkaran
hakikat. Manakala problem pendidikan memasuki lingkaran yang substansial atau filosofis
kiranya ilmu pendidikan menyerahkan garapan itu pada filsafat pendidikan. Pemikiran
– pemikiran tentang pendidikan pun telah bermunculan dalam rangka memberikan jawaban
atau konsep pendidikan yang dapat menjawab berbagai tantangan perubahan zaman.
Terdapattigaaliranutamadalampemikiranpendidikan
Islam, yaitu: aliran agamis konservatif dengan tokohnya imam Ghazali, aliran
religious rasional yang diwakili oleh Ikhwanu as-Shofa dan aliran pragmatis dengan
tokoh utamanya Ibn Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banyak bersifat pragmatis
dan lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis, yang selanjutnya akan
kami bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari aliran pendidikan pragmatis
instrumental ?
2. Bagaimana
konsep pendidikan islam dalam aliran pragmatis instrumental menurut Ibnu
Khaldun ?
3.
Bagaimana Relevansi konsep pendidikan islam pragmatis instrumental
menurut Ibnu Khaldun terhadap pendidikan islam saat ini ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
Menjelaskan pengertian dari aliran pendidikan pragmatis instrumental
2.
Untuk Menjelaskan konsep pendidikan islam dalam aliran pragmatis instrumental
menurut Ibnu Khaldun
3. Untuk Menjelaskan relevansi konsep pendidikan
islam pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun dengan pendidikan islam saat
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Aliran Pragmatis
Instrumental
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna.
Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai
yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat scara praktis. Misalnya,
berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa
kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan
bermanfaat bagi kehidupan.[3]
Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara
manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi
biologis, sosial dan psikologis. Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah,
sedang pengetahuan sebagai transaksi manusia dengan lingkungannya, dan
kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Nilai sesuatu yang relatif, selalu
berubah, dan tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari
pengalaman-pengalaman individu.[4]
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar
tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada
berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir
Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya
intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.
Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu
ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak.
Istilah pragmatisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce
(1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.[5]
Pengaruh pragmatisme menjalar
di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Pengalaman
adalah salah satu kunci dalam filsafat pragmatisme. Pengalaman merupakan
keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling
mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik.
Filsafat pragmatisme dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal
dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk
menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang
merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan
tertentu.
Dalam Islam, Aliran pendidikan pragmatis
yang digulirkan Ibnu khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan
Islam. Ia mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung
manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan material. Menurut Ibnu Khaldun,
ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan
berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat.
Dalam mencapai pengetahuan yang beranekaragam, seseorang tidak hanya membutuhkan
ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibn Khaldun adalah
tokoh satu-satunya dari aliran ini, karena pemikirannya lebih banyak bersifat
pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi praktis. Secara ringkas biasa dikatakan bahwa alliran pragmatis yang
digulirkan oleh Ibn Khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan
Islam. Bila kalangan koservatif mempersempit ruang lingkup “sekuler” di hadapan
rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan
salaf, sedang kalangan rasionalis dalam sistem pendidikannya berpikiran
idealistik sehingga memasukkan semua disiplin ilmu yang dianggap substantif
bernilai. Maka Ibn Khaldun mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait
dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah
maupun kebutuhan material. Meskipun demikian, Ibn Khaldun sejalan dengan
kalangan rasionalis dalam hal penngakuan rasio (al-‘aql) atau daya piker
(al-fikr).[6]
Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilmwa al-Ta’lim Thabi’iyyun fi al’Umran
al-Basyari. Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban
(al-‘Umran) manusia. Hal itu di mungkinkan karena manusia dibekali dengan akal,
yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu.
Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di sekitarnya. Ide tentang
adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain
yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Uluminnama Takastsrat Haisuyaksurual’Umranwa
Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan
peradaban.[7]
Menurut
Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali
ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali
seseorang menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam beruratakar di dalam
jiwanya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corakjiwa yang tidak
dapat tumbuh serempak. Pemikirannya jika dilihat dari sudut pandang tujuan
pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi
praktis[8].
Dia
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan fungsinya, bukan berdasarkan
nilai substansialnya semata. Berdasarkan hal tersebut ia membagi ragam ilmu
yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian;
1. Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, semisal
ilmu-ilmu keagamaan tafsir, hadis,
fikih, kalam, ontology dan teologi dari cabang filsafat
2. Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik
instrumental bagi ilmu-ilmu yang pertama. bahasa
Arab, ilmu hitung, dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat.
Berangkat
dari orientasi kepraktisan, dia memperboleh kan mendalami ilmu-ilmu yang
bernilai instrinsik. Adapun mengenai ilmu-ilmu ekstrinsik instrumental dia
tidak menginginkan terjadinya diskursus rasional mengenai ilmu ini kecuali jika
diletakkan dalam kerangka kegunaan bagi jenis ilmu yang bernilai instrinsik
B.
Konsep Pendidikan Islam dalam Aliran Pragmatis
Instrumental menurut pandangan Ibn Khaldun
Berbicara tentang pendidikan
Islam, maka mau tidak mau harus berbenturan dengan tokoh-tokoh yang
berkecimpung di dalamnya. Diantara tokoh pendidikan Islam yang tidak kecil
kontribusinya adalah Ibnu Khaldun . Tokoh yang satu ini memilki tempat
tersendiri dalam dunia pendidikan Islam. Pemikiran-pemikirannya selalu menjadi
bahan perbincangan di kalangan praktisi pendidikan. Baik itu pada masanya
maupun pada masa-masa sesudahnya. Sedemikian besar kontribusi dalam dunia
pendidikan, pemikirannya tidak hanya di konsumsi oleh para praktisi pendidikan
Islam tetapi juga banyak sarjana-sarjana barat yang menjadikannya sebagai rujukan
dalam penelitian-penelitian yang dikembangkannya.
Walhasil, mengkaji pemikiran
tokoh pendidikan yang satu ini selalu menarik perhatian para akademisi. Konsep
pemikirannya tidak hanya menarik pada zamannya saja tetapi juga sangat urgen
untuk dijadikan sebagai rujukan dalam dunia pendidikan modern. Apalagi bila
berbicara tentang dunia pendidikan Islam di Indonesia yang saat ini masih
mencari jatidirinya, maka merujuk kepada tokoh pemikiran masa lalu –termasuk
Ibnu Khaldun di dalamnya- adalah suatu keniscayaan. Hal ini sangatlah wajar,
mengingat masa keemasan pendidikan Islam telah mereka torehkan dengan gemilang.
Dan sejatinya, umat ini tidak akan pernah berkembang dan maju melainkan dengan
mengikuti apa yang telah diaplikasikan oleh para pendahulunya.[9]
Menurut
Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata
bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam
kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial
yang menjadi ciri khas jenis insani. Tradisi penyelidikan ilmiah yang dilakukan
oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan
melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan
sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah
memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih,
pengetahuan ilmia memuat pengetahuan yang otentik[10]
Menurutnya ada tiga tingkatan
tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan
kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
Orang awam bias meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang
ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bias demikian oleh setiap
orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b. Penguasaan
ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi).
Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang
tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas
sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi.
c. Pembinaan
pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan
binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan
terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis
peserta didik.
Ibnu Khaldun adalah
satu-satunya tokoh dari aliran pragmatis-instrumental. Berikut ini adalah pandangan Ibnu Khaldun terhadap konsep
pendidikan Islam jika dilihat dari
berbagai sudut pandang. Diantaranya :
a) Tujuan Pendidikan
Dalam konsep
pendidikan, Ibnu Khaldun lebih mendominasikan tujuan agama dan akhlak pada
berbagai tujuan, metode, alat dan tekniknya bercorak agama, termasuk segala hal
yang diajarkan dan diamalkan dalam lingkungan agama dan akhlak serta berdasar
pada al-Qur’an serta peninggalan orang-orang terdahulu yang saleh. Fathiyah Hasan menjelaskan bahwa
tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah (1) memberikan kesempatan kepada pikiran
untuk aktif bekerja, mengingat karena hal ini penting untuk terbukanya pikiran
dan kematangan seseorang yang akhirnya dapat bermanfaat bagi masyarakat, (2)
memperoleh ilmu pengetahuan untuk mewujudkan masyarakat yang maju dan
berbudaya, (3) memperoleh pekerjaan untuk mencari penghidupan.[11]
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan adalah
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan agama
dan ahklak atau tujuan-tujuan kemanfaatan
yang tidak bertentangan dengan agama dan ahklak.
b) Pendidik
Ibnu Khaldun memandang
bahwa usaha mendidik yang dilakukan pendidik adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian.
Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa untuk menjadi seorang pendidik diperlukan
kualifikasi tertentu, antara lain
pendidik harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan kerja akal
secara bertahap. Pendidik juga dituntut untuk memiliki ilmu metodologi mengajar
sesuai dengan perkembangan akal tersebut. Seorang pendidik tidak saja memiliki
ilmu yang akan diajarkan, tetapi juga harus memiliki ilmu mengajar atau
memahami cara mengajar yang baik, agar tidak membingungkan peserta didik
sehingga tujuan pendidikan tidak terpenuhi. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan Ibnu Khaldun bahwa banyak guru dari generasi sekarang yang tidak
tahu sama sekali cara-cara mengajar. Misalnya mereka sejak permulaan memberikan
kepada muridnya masalah-masalah ilmu pengetahuan yang sukar dipelajari dan
menuntut mereka untuk memeras otak untuk memecahkannya[12]
Seorang
pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang
mendukung profesionalismenya. Adapun sifat-sifat tersebut adalah:
1. Pendidik
hendaknya lemah lembut, senatiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman
yang merusak fisik dan psikis peserta didik, terutama terhadap anak-anak yang
masih kecil. Hal ini disebabkan, karena dapat menimbulkan kebiasaan yang buruk
bagi mereka (peserta didik); seperti pemalas, berdusta dan tidak jujur, atau
berpura-pura menyatakan apa yang tidak terdapat di dalam pikirannya. Sikap yang
demikian dapat terjadi disebabkan karena merasa takut disakiti dengan perlakuan
yang kasar, terutama jika mereka berkata yang sebenarnya
2.
Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai Uswah al-Hasanah (suri teladan)
bagi peserta didik. Keteladanan di sini dipandang sebagai suatu cara yagn ampuh
untuk membina akhlak dan menanamkan prinsip-prinsip terpuji kepada jiwa peserta
didik. Menurut Ibn Khaldun, peserta didik akan memperoleh ilm pengetahuan, ide,
akhlak, sifat terpuji dan pendidikan adalakanya dengan meniru atau melakukan
kontak pribadi dengan lingkungannya, khususnya kepribadian para pendidik.
3.
Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan
pengajaran, sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
4.
Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna. Menurut
Ibn Khaldun, diantara cara yang paling baik untuk mengisi waktu senggang adalah
dengan membiasakan anak membaca, terutama membaca al-Qur’an, sejarah,
syair-syair, hadis nabi, bahasa Arab, dan retorika.
5.
Pendidik harus professional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta
didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya,
serta kesiapan untuk menerima pelajaran. Di antara sikap terpenting yang harus
dimiliki oleh seorang pendidik ialah kemampuan mengungkapkan diri dengan jelas
dalam dialog dan diskusi, serta mencoba menyampaikan kemampuan ilmiah kepada
peserta didik yang dianggap sebagai suatu keahlian dalam pelajaran.[13]
c) Peserta Didik
Ibnu Khaldun
memandang peserta didik sebagai muta’allim
yang dituntut untuk mengembangkan segala potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Dia memberi
petunjuk kepada muta’allim agar berhasil dalam studinya dan menyatakan: “Hai pelajar, ketahuilah bahwa saya di
sini akan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi studimu. Apabila kamu menerimanya dan mengikutinya
dengan sungguh-sungguh, kamu akan mendapatkan
suatu manfaat yang besar dan mulia. Bahwa kemampuan manusia adalah
anugerah khusus yang alami ciptaan
Allah, sama seperti Dia menciptakan semua makhlukNya”
Pernyataan di atas menunjukkan
bahwa Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai subyek didik, bukan obyek didik yang
memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini
menandakan bahwa Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang optimistik terhadap
peserta didik. Peserta didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subyek didik yang
dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan
ini membuat pendidikan sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain,
agar terbimbing ke alam kedewasaan. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memandang
peserta didik sebagai obyek didik yang memerlukan subyek didik, yaitu guru.
Perbedaan istilah yang
digunakan Ibnu Khaldun di dalam merujuk pengertian peserta didik, justeru
menunjukkan adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta
didik adalah wildan yang memerlukan guru. Konsep ini berlaku
untuk jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik
adalah muta’allim yang dituntut secara mandiri. Konsep ini
berlaku pada jenjang pendidikan tinggi.
Ibnu
Khaldun lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering
disebut sebgai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog. Apa yang terkesan
tentang konsep manusia menurut Ibn Khaldun adalah karena ia seorang muslim. Ia
telah mempunyai asumsi-asumsi kemanusian sebelumnya lewat pengetahuan yang ia
peroleh dalam ajaran Islam oleh karena itu, konsepsi-konsepsi kemanusiannya
adalah hasil dari derivikasi upaya intektual Khaldun untuk membuktikan dan
memahami asumsi al-Qur’an tersebut lewat gejala dan aktivitas kemanusiaan.
Ibn
Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk
lainnya.Manusia, kata Ibn Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu ia
mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam itu tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak
hanya membuat kehidupan, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara
guna memperoleh makna hidup, proses-proses yang semacam ini melahirkan
peradaban[14].
Menurut
Ibn Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya
binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping memiliki
pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya,
juga meiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu
masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia
yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat.Pemikiran
tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikiran mesti diperoleh dari orang lain
yang telah lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut
guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan
kegiatan pendidikan. Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa
dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia di samping harus
sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai
pengetahuan yang bermacam-macam itu seorang tidak hanya membutuhkan ketekunan,
tetapi juga bakat.Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau
disiplin memerlukan pengajaran.
d) Kurikulum
Ibnu Khaldun membagi
macam-macam ilmu yang perlu dimasukkan ke
alam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian, yaitu (1)
ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, yang dipelajari karena faedah dari
ilmu itu sendiri, seperti ilmu-ilmu syar’iyat, ilmu-ilmu tha’biyat dan filsafat yang berhubungan dengan
ke-Tuhan-an, seperti ilmu tafsir,
hadits, kalam dan sebagainya. Pendidikan agama, menurut Ibnu Khaldun, memiliki
peran penting dalam memupuk persatuan demi berlangsungnya pendirian negara yang
besar[15]
(2) ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik instrument, yaitu ilmu alat bagi ilmu-ilmu jenis pertama di atas, seperti bahasa, matematika,
ilmu logika yang membantu mempelajari filsafat dan lain-lain.
Ilmu-ilmu intrinsic, sebagai ilmu-ilmu primer,
harus lebih diutamakan, karena menjadi tujuan utama. Mempelajari ilmu
alat tidak boleh melebihi ilmu yang utama. Oleh karena itu Ibnu Khaldun hanya membolehkan
pendalaman-pendalaman ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik melalui
diskusi-diskusi ataupun beradu
argumentasi secara analitik-rasional tentang ilmu-ilmu tersebut. Namun jika
untuk ilmu-ilmu ekstrintik (ilmu sekunder), Ibnu Khaldun tidak membolehkan diskusi rasional itu,
kecuali jika diletakkan dalam kerangka
kegunaan bagi jenis ilmu intrinsik.Hal
ini dilakukan karena dengan diskusi akan
mampu meningkatkan intelektualitas akademik seseorang, namun jika
yang didiskusikan hanya ilmu alat, dikhawatirkan waktu akan habis
percuma.
Ibnu Khaldun memiliki
pandangan demikian, karena telah mengamati kurikulum yang diajarkan baik
di Maghribi, Andalusia, Afrika dan Timur. Fakta yang dijumpai Ibnu Khaldun
mendorong untuk mengkritisinya, seperti
para peserta didik yang belakangan diamati Ibnu Khaldun banyak
menghabiskan waktu hanya untuk belajar ilmu alat saja. Sedangkan di Maghribi
yang membatasi pendidikan dan pengajaran al-Qur’an bagi anak-anak serta
pengajaran al-Qur’an terpisah dari pelajaran lainnya. Kondisi ini mengakibatkan
peserta didik bisa menjadi ahli al-Qur’an atau justeru drop out sebelum
berhasil.[16]
e) Metode Mengajar
Metode mengajar,
menurut Ibnu Khaldun, harus berjalan
sesuai dengan tahapan perkembangan akal manusia. Akal berkembang dimulai dengan
mengerti tentang masalah-masalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian
meningkat mengerti tentang masalah yang agak kompleks, kemudian lebih
kompleks. Ibnu Khaldun mengungkapkan
tiga langkah metode mengajar. Pertama adalah hendaknya kepada peserta didik
diajarkan pengetahuan yang bersifat umum dan sederhana, khusus berkenaan dengan
pokok bahasan yang tengah dipelajari. Pengetahuan ini hendaknya disesuaikan
dengan tarap kemampuan intelektual peserta didik, sehingga tidak berada di luar
kemampuannya untuk memahami. Hendaknya peserta didik belajar pada tingkat pertama atau paling sederhana.
Kedua adalah seorang pendidik kembali menyajikan
pengetahuan tersebut kepada peserta didik dalam tarap yang lebih tinggi dengan
memetik intisari pelajaran, keterangan dan penjelasan yang lebih spesifik.
Dengan demikian pendidik dapat mengantarkan peserta didik kepada tarap
pemahaman yang lebih tinggi. Ketiga adalah
seorang pendidik mengajarkan pokok bahasan tersebut secara lebih terinci
dalam konteks yang menyeluruh, sambil memperdalam aspek-aspek dan menajamkan
pembahasannya. Tidak ada lagi yang sulit dan yang tidak diterangkan ataupun
dibahasnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun
tentang metode pembelajaran ini adalah kritik berdasar dari gaya para pendidik
pada masanya. Agai alternatif solusi,
Ibnu Khaldun menganjurkan dalam
pembelajaran yaitu (1) jangan menggunakan metode indoktrinasi
terhadap peserta didik, karena hal ini berarti mendidik tanpa mempertimbangkan
kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya hendaknya mengajarkan beragam
keilmuan secara sedikit demi sedikit mula-mula disampaikan permasalahan
pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara
global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik
hingga selesai materi, (2) jangan banyak mengumpulkan ringkasan-ringkasan
tentang bermacam-macam masalah keilmuan
karena hal ini akan mengganggu proses pembelajaran, peserta didik
dihadapkan pada kerepotan dalam memahami istilah-istilah ringkas tersebut,
(3) jangan menggunakan metode menghafpal
hal-hal atau materi yang tidak berguna dalam rentang waktu cukup lama dan menyibukkan diri dengan banyak
peristilahan tentang materi, (4) jangan memberikan alokasi waktu yang banyak
untuk mempelajari ilmu-ilmu alat (ekstrinsik) melebihi ilmu-ilmu utama
(intrinsik), sehingga menyebabkan hilang fungsi ilmu alat sebagai ilmu
penunjang, (5) jangan menggunakan metode
militerisasi karena pendidik bersikap
keras terhadap anak didik, yang akan berdampak buruk bagi anak didik berupa kelainan-kelainan
psikologis dan perilaku nakal.[17]
Berdasarkan uraian di
atas, pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam sudah jelas dan formulatif menyangkut teori bahwa
institusi-institusi keilmuan di samping mampu mencetak out put pendidikan yang
berkwualitas, tetapi bisa jadi out put-nya justeru tidak berkualitas. Fakta ini tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Khaldun selalu menarik untuk
dikaji dan diteliti, mengingat Ibnu Khaldun
telah menjelajah ke seluruh wilayah dunia Islam, sehingga data
yang diperoleh amat akurat. Metode mengajar Ibnu Khaldun
menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan.
f) Hukuman
Ibnu Khaldun tidak
setuju jika mendidik anak dengan menggunakan kekerasan,
karena akan berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan anak, yaitu menyebabkan
kelemahan dan tidak sanggup membela kehormatan diri dan keluarga, karena anak
tidak memiliki kemauan dan semangat yang berfungsi amat penting dan memperoleh
keutamaan dan ahklak yang baik. Dengan kekerasan jiwa, anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang
lingkup hakikat kemanusiaannya[18]
Seorang pendidik
hendaknya mengerti tentang perkembangan akal manusia secara bertahap, sehingga
memungkinkan baginya untuk menerapkan perkembangan ini dalam mendidik anak. Di
samping itu Ibnu Khaldun juga memberikan nasehat kepada pendidik agar
tidak bersikap otoriter terhadap peserta didik yang masih kecil, karena paksaan
terhadap tubuh di dalam upaya pendidikan akan sangat membahayakan peserta
didik, terutama yang masih kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil
akan menimbulkan kemalasan dan menyebabkan mereka berdusta serta membenci ilmu
dan pendidikan.[19]
Ibnu Khaldun
menganjurkan agar seorang pendidik tidak berlaku kejam dalam mendidik dan
mengajar anak. Pendidik harus menyesuaikan penggunaan hukuman. Hukuman tidak boleh dilakukan berpisah dari
tujuan yang ingin dicapai. Pendidik tidak boleh menghukum sekedar menghukum
saja. Prinsip hukuman sebagai alat mendidik penting, akan tetapi jangan
dilakukan oleh pendidik, kecuali dalam
keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain.
Ibnu Khaldun memandang
hukuman adalah metode kuratif,
mengingat tujuan hukuman adalah
untuk memperbaiki anak didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta
didik lainnya. Hukuman harus diberikan
jika anak didik sudah melakukan
kesalahan yang benar-benar dapat mengganggu kelancaran proses belajar mengajar
atau dapat mengganggu perkembangan jiwa anak. Karena hukuman bersifat kuratif,
maka tidak boleh terlalu sering memberikan hukuman. Hukuman boleh dilakukan
ketika dengan cara nasehat atau peringatan tidak berhasil. Namun yang perlu dicatat
bahwa hendaknya hukuman yang dijatuhkan kepada
peserta didik dapat dipahami, sehingga peserta didik sadar dengan
kesalahan yang telah dilakukan dan tidak
akan mengulangi hal yang sama.
C. Relevansi
konsep pendidikan islam pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun dengan
pendidikan islam saat ini
Dalam setiap ruang dan waktu,
pendidikan selalu mendapatkan perhatian dari setiap tokoh-tokohnya.
Perbincangan tentang pendidikan seolah-olah tak pernah mati. Dalam kondisi
apapun pendidikan tetap selalu dibicarakan. Baik dalam kondisi berkembang dan
maju maupun dalam kondisi stagnan atau bahkan dalam kondisi terpuruk sekalipun.
Belum pernah didengar ada suatu
masa yang disitu pendidikan tidak dibicarakan. Ini berlaku disemua negara dan
disemua waktu. Pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah selesai
(unfinished agenda). Pendidikan selalu terasa tidak pernah memuaskan.
Pendidikan selalu dibicarakan. Pendidikan bahkan selalu menjadi bahan
perdebatan.[20]
Hal ini menunjukkan
signifikansi posisi dan kedudukan pendidikan dalam peradaban manusia.
Sebagaimana tabiat perkara duniawi, pendidikan dalam realitanya mengalami
kembang kempis. Situasi ini tidak terlepas dari pengaruh peranan tokoh-tokoh
yang berkecimpung dalam ranah pendidikan tersebut. Ketika tokoh-tokohnya kritis
dan sensitive serta proaktif terhadap masalah pendidikan yang mengemuka, maka
pendidikan yang ada pada masanya akan melahirkan hasil-hasil pendidikan yang
memuaskan dalam setiap bidangnya. Sebaliknya, ketika para praktisi pendidikan
tidak sensitive terhadap masalah pendidikan yang sedang mengemuka bahkan
terkesan reaktif dan apriori maka hal itu akan mewariskan duka dalam bagi dunia
pendidikan.
Diantara
Relevansi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual
sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab,
lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan
kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab. Kedua, memilah-milah
antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan,
kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik
benar-benar menguasai suatu bidangi lmu pengetahuan yang memang telah menjadi
bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat 4 faktor pendidikan yang ditawarkan Ibnu Khaldun yakni tujuan,
pendidik, peserta didik, metode pengajaran dan materi pendidikan. Semua
komponen pendidikan tersebut sesuai dengan konsep pemikiran para ahli
pendidikan sekarang. Namun, ada beberapa pemikiran beliau yang berbeda dengan
para ahli pendidikan yakni tentang tujuan pendidikan.
Disini pemikiran Ibnu Khaldun lebih
kepada realistis. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mengangkat derajat
manusia. Namun, agar manusia mampu memperoleh penghasilan dan menghasilkan
industri-indutri untuk eksistensi hidup manusia selanjutnya. Selain itu,
pemikiran beliau tentang jangan berhenti terlalu lama dalam proses belajar,
belum ditemukan dalam teori para ahli pendidikan masa sekarang. Serta hal-hal
yang menghambat proses pendidikan belumlah berlaku pada masa sekarang yakni
tentang banyaknya buku dan banyaknya ringkasan. Konsep pemikiran Ibnu Khaldun
juga sangat relevan dengan konsep pendidikan masa sekarang, dan sangat cocok
untuk diterapkan dalam kegiatan belajar dimana pun.
Keunikan pemikiran Ibnu Khaldun bila
dibandingkan dengan ahli pendidikan pada masanya bahwa apakah prestasi dan
keberhasilan dalam pembelajaran - hingga kini masih diperdebatkan- ditentukan
oleh bawaan atau kemampuan hasil belajar, dan Ibnu Khaldun tampaknya cenderung
pada pendapat terakhir yaitu hasil kemampuan
Dengan
laju perputaran kondisi jaman yang semakin berkembang dan berubah, tentu waktu
yang telah berjalan tidak bisa digantikan oleh waktu sekarang, begitu juga dengan kondisi pada masa lalu tidak bisa
digantikan atau relevan dengan masa
kini. Oleh karena itu, dalam hal cara
berpikir dan cara memandang seorang
tokoh tentunya tidak selalu relevan
untuk diaplikasikan ke segala dimensi waktu dan ruang, terlebih tokoh-tokoh pemikir klasik.
Namun
pemikiran Ibnu Khaldun banyak yang masih relevan jika diaplikasikan untuk
pendidikan Islam masa kini. Hal ini bisa dilihat dalam hal menetapkan tujuan
pendidikan. Tinjauan filsafat yang digunakan Ibnu Khaldun sangat nampak, meski juga sangat pragmatis
untuk memasukkan unsur mencari kehidupan dalam tujuan pendidikan. Begitu juga
dengan pandangan Ibnu Khaldun tentang
materi dan kurikulum menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun memang matang berpikirnya dan dalam pengajaran
al-Qur’an patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain. Hal yang
tidak berbeda jauh adalah prinsip Ibnu Khaldun
bahwa belajar bukan penghapalan di luar kepala, namun pemahaman, pembahasan dan kemampuan
berdiskusi.
Ibnu
Khaldun dalam menjelaskan materi dan kurikulum yang diajarnya dalam metode
pendidikan selalu memperhatikan bahasa sebagai jembatan memperoleh ilmu. Ibnu
Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak sebaiknya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum
ilmu-ilmu lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua
ilmu pengetahuan. Menurut Ibnu
Khaldun, mengajarkan al-Qur’an
mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak
terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca hal-hal yang tidak
dimengertinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang
artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu
aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat scara praktis. Ibnu
Khaldun dalam Pemikirannya jika dilihat dari sudut pandang tujuan
pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi
praktis.
2.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan
bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan
yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan
pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis
insani. Tradisi penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai
dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara
berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan
mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi
pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmiah memuat pengetahuan
yang otentik.
3.
pemikiran Ibnu Khaldun banyak yang masih relevan jika diaplikasikan untuk
pendidikan Islam masa kini. Hal ini bisa dilihat dalam hal menetapkan tujuan
pendidikan. Tinjauan filsafat yang digunakan Ibnu Khaldun sangat nampak, meski juga sangat pragmatis
untuk memasukkan unsur mencari kehidupan dalam tujuan pendidikan. Begitu juga
dengan pandangan Ibnu Khaldun tentang
materi dan kurikulum menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun memang matang berpikirnya dan dalam
pengajaran al-Qur’an patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang
lain. Hal yang tidak berbeda jauh adalah
prinsip Ibnu Khaldun bahwa belajar bukan penghapalan di luar
kepala, namun pemahaman, pembahasan dan
kemampuan berdiskusi.
B.
Saran
Kami
menyadari bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Penyusun
juga sadar bahwa dalam makalah ini masih belum sempurna. Untuk itu, kritik dan
saran yang membangun tetap penyusun harapkan. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mempelajari ajaran islam
utamanya pendidikan islam dalam berbagai aliran pemikiran sebagai bekal dalam
kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Yusri Abdul Ghani. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: Raja
Grafindo, 2004.
al-Abrasy,
M. Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. A. Ghani dan Bahri Johar. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ahmadi, Thoha.
Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khadun.
Jakarta: Tim Pustaka Firdaus, 2001.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Djamaluddin
dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia,
1998.
Imam
dan Barizi Ahmad Tolkhah. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo,
2004.
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos, 1997.
Rahman,
Zainuddin A. Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Ridha, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002.
Suharto,
Toto. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2003.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro,
1987.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam.
Jakarta: Amzah, 2009.
Wahyu,
Martiningsih. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2009.
[1]Imam Bawani. Segi-segi Pendidikan Islam. Surabaya:
al-Ihlas, 1987hlm 89
[3]
Achmadi, Drs.
Asmoro. Filsafat Umum. 2003. Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hlm
54
[4]
Sadulloh, Uyoh (2003). Pengantar Filsafat pendidikan.
Bandung: Alfabeta hlm.125
[5]
Achmadi, Asmoro (2003). Filsafat Umum. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada hlm 78
[6] Wello, Abd. Malik. 2011. “Filsafat Ilmu Pengetahuan
Perspektif Islam”. Samata. Alauddin University Press.
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:
Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hlm
67
[9]
Ali
al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan
Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196.
[10]
Syarifudin
Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA
:’UIN Sunan Kalijaga, 2008) hlm.17.
[11] Toto Suharto,
Filsafat Pendidikan Islam, hlm 241
[12]
Thoha Ahmadi,
Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khadun
(Jakarta: Tim Pustaka Firdaus, 2001), hlm 752
[13]
Nizar, Samsul dan Ramayulis,. Fisafat Pendidiklan
Islam. Jakarta: kalam Mulia, 2009 hlm 65
[14]
Rahardjo, Insan Kamil:Konsepsi Manusia Menurut Islam.
Jakarta: Grafiti Press, 1987. Hlm 54
[15]
Zainuddin A.
Rahman, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta: Gramedia
Pustaka
Utama, 1992), hlm 164.
[16] Ibid, 761
[17]
Ibid, 748-764.
[18]
M. Athiyah
al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan
Islam, terj. A. Ghani dan Bahri Johar
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm 157
[19] Fathiyah Hasan
Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang
Ilmu dan Pendidikan (Bandung: CV. Diponegoro, 1987), hlm 73.
[20]
Ahmad
Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami, Bandung:
Remaja Rosdakarya 2006 M, Hlm. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar