BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
agama merupakan suatu landasan filosofis religious pendidikan. Pada hakikatnya
segala pengetahuan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan Tuhan telah
menurunkan pengetahuan baik melalui utusanNya berupa wahyu, maupun berbagai hal
yang ada di alam semesta. Kebenaran pengetahuan bersifat mutlak seperti dalam
pengetahuan keagamaan karena bersumber langsung dari Tuhan. Dilihat dari
kemajemukan agama yang ada di Indonesia agama Islam mendominasi ragam agama
yang ada, maka mayoritas penduduk di Indonesia menganut agama Islam. Dari
alasan diatas dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, Negara Indonesia
memasukkan Sistem Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional,
karena pendidikan agama dapat memainkan peranan yang lebih kuat dalam upaya
memperbaiki akhlaq masyarakat. Pendidikan agama juga sangat dianjurkan
sekalipun di Negara yang maju, karena sifat religiusitas harus ditanamkan.
Dengan adanya itu, orang akan mempunyai pegangan dan mempunyai rasa Ketuhanan
dan Keimanan
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Pendidikan Islam dalam Perspektif Historis?
2.
Apa saja
permasalahan-permasalahan dalam Pendidikan Islam?
3.
Bagaimana
Pendidikan Islam sebagai Subsistem Pendidikan Nasional?
4.
Bagaimana
Pendidikan Islam dalam UUSPN?
5.
Bagaimana
Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah?
6.
Bagaimana Peran
Kementrian Agama?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
Mengetahui Pendidikan Islam dalam Perspektif Historis
2. Untuk
Mengetahui permasalahan-permasalahan dalam Pendidikan Islam
3. Untuk
Mengetahui Pendidikan Islam sebagai Subsistem Pendidikan Nasional
4. Untuk
Mengetahui Pendidikan Islam dalam UUSPN
5. Untuk
Mengetahui Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah
6. Untuk
Mengetahui Peran Kementrian Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perspektif Historis
Sejak awal
perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim
Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi
mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendatipun dalam sistem yang masih sangat sederhana, di mana
pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat
ibadah semacam masjid, mushala, bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan
terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan
mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigenous religious
adan social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa
umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren, umat
Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat
setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, dan demikian pula masyarakat Aceh
dengan mentransfer lembaga masyarakat
meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam [1]
Perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga
pendidikan secara bertahap, mulai dari yang sangat sederhana, sampai dengan
tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam
telah memainkan fungsi dan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
zamannya yang ada di Indonesia antara lain :
1.
Lembaga Pendidikan Islam di Surau
Istilah
surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem
adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang
yang berfungsi sebagai tempat bertamu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi
anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur.[2]
Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Miangkabau yang
menganut sistem Matrilineal,[3]
menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tidak punya kamar di rumah orang tuanya
sendiri, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan
surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik
dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis lainnya.[4]
Sebagai
lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah.
Materi pendidikan yang diajarkan pada mulanya masih seputar belajar huruf
hijaiyah dan membaca al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti
keimanan, akhlak dan ibadah. Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga
pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada masa
ini, yaitu: 1) Pengajaran al-qur’an yang mencakup pendidikan untuk memahami
ejaan huruf al-Qur’an dan membaca al-Qur’an sampai pendidikan membaca al-Qur’an
dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid, dan pengajian kitab; dan 2) Pengajian
Kitab yang meliputi materi tentang ilmu nahwu dan saraf, imu fiqih, ilmu tafsir
dan lain-lain.
2.
Lembaga Pendidikan Islam di Meunasah
Meunasah
merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari bahasa Arab
madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap
kampung/desa. Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan
berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para
anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam
mapan di Aceh, meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu
gampong/desa.[5]
Dalam
perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat
beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan,
bahkan juga sebagai tempat transaksi jual-beli, terutama barang-barang yang
tidak bergerak. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di
bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru.
3.
Lembaga pendidikan Islam di Pesantren
Pesantren
atau pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah
asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan
mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam
kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan
kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk
dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang
berlaku.[6]
Pondok
Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren
menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok
berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di Jawa
termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren,
sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkang atau menuasa,
sedangkan di Minangkabau disebut surau.[7]
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama
Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa
Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok
(asrama) dalam pesantren tersebut.[8]
Kehadiran
pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren
sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan
masyrakat sekitar sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak
menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat
dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi
penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang
bersifat “asli” atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai
positif dan harus dikembangkan. [9]
Dari
perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan
yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Dengan kondisi demikian
itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini.
Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai
dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang mampu
bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan
umum dan sekuler.[10]
Nilai-nilai progresif dan inovatif sebagai suatu strategi untuk mengejar
ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu
bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
B. Permasalahan
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian
bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka
bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar
dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu
pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi
lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya
dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.
Hal ini pun
didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu
umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada
pembelajaran dalam sistem pendidikan Islam yang masih berkutat apa yang oleh
Muhammad Abed al-Jabiri, pemikir asal Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau
dalam bahasa Amin Abdullah disebut dengan hadharah an-nashsh (budaya agama yang
semata-mata mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan
setumpuk teks-teks keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan
fikih semata.
Terjadinya
pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat
Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena
ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari
non-Islam atau the other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu
(dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu
juga ilmu dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik
kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai
dampak negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Sistem
pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain,
generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sisitem pendidikan Islam hanya
mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali
tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman. Dari berbagai persoalan pendidikan
Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis. Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.
Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock. Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif.
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis. Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.
Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock. Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif.
C. Pendidikan Islam
Sebagai Subsistem pendidikan nasional
Sistem
Pendidikan Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mendukungnya dalam setiap implementasinya, dalam rangka
membangun manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga
negara dan masyarakat Indonesia semangkit meningkat. Namun, apa yang nampak
secara terbuka di sekitar kita bahwa, kondisi bangsa Indonesia tetap masih
dalam keadaan terpuruk, dengan berbagai macam indikasi seperti perilaku amoral
semakin merajalela tindak pidana korupsi dan lain-lain, yang dilakukan oleh warga
Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur, tingkat
pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya
Menyadari
akan kondisi riil tersebut, bukan tanpa sebab, melainkan tanpa banyak diragukan
oleh kebanyakan orang bahwa Sistem Pendidikan Nasional belum berfungsi dan
berperan efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bermutu, termasuk di
dalamnya yaitu berakhlaq terpuji. Bahkan kalau diakui secara jujur, maka
pendidikan agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil
dan dampak yang positif secara berarti.
Hal ini
boleh jadi disebabkan pula oleh posisi pendidikan agama Islam belum strategis.
Pendidikan agama Islam belum bisa memberikan materi yang relevan, proses
pendidikan (terutama pembarannya) belum kondusif, dan evaluasi pendidikan belum
menyeluruh.
Ahmad
Tafsir, menjelaskan kegagalan sistem pendidikan nasional kita adalah ada
ketidaksesuaian antara Pancasila dan UUD 1945 dengan UU Nomor 20/2003. UUD 45
harus menurunkan seluruh nilai yang ada didalam Pancasila. Nilai pertama dan
yang paling utama dalam Pancasila adalah Ketuhanan YME dan nilai ini
adalah corePancasila. Nilai ini turun dengan sempurna dalam UUD 45 dengan
bukti ungkapan “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa”. Jadi core UUD
45 adalah Ketuhanan YME. Namun yang agak disayangkan core itu tidak
turun secara sempurna ke dalam UU Nomor 20/2003 yang berbunyi bahwa pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, beakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[11]
Pasal ini
menurut Tafsir masih belum secara konkrit menyatakan keimanan menjadi inti
pendidikan nasional. Sehingga inilah yang menjadi pokok permasalahan dan
akibatnya parah sekali; keimanan tidak menjadi inti kurikulum sekolah,
selanjutnya pelaksanaan pendidikan disekolah tidak mejnajdikan pendidikan
keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan daln lebih jauh lulusan sekolah
kita tidak memiliki keimanan yang kuat.[12]
Tetapi setidak-tidaknya telah nampak bahwa UU Sisdiknas menjadi
penengah sehingga, ada integrasi interkoneksi antara pendidikan Islam dengan
pendidikan nasional yang tercermin dalam beberapa hal: Pertama, pendidikan
nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam
semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam pendidikan nasional,
pendididikan agama Islam dengan sendirinya dimasukkan ke dalam jalur sekolah. Ketiga,
meskipun pendidikan agama Islam sudah diberi status pendidikan sekolah, tetapi
sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan
agama Islam memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syari’ah. Pada jurusan ini
70% muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang studi agama.[13]
Dengan
adanya peraturan pemerintah ini diharapkan pendidikan yang
Islami menjadi pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran
tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya
mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap manusia mampu
meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke
tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya (amal
saleh). Dengan demikian pendidikan yang Islami tidak lain adalah upaya
mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi
nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada
umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan
mendapatkan sentuhan nilai-nilai ilahiyah yang transcendental.[14]
Sehingga,
sebagai subsistem pendidikan nasional, pendidikan Islam bisa menjalankan tujuan
khusus yang harus dicapai, dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang
pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi
suprasistennya. Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi
pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia
Indonesia yang takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang
bhinneka. Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut
adalah mewujudkan nilai-nilai keIslaman di dalam pembentukan manusia Indonesia.
Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif.
Hal ini sejalan dengan trend kehidupan era modern, agama dan intelek
akan saling bertemu. Dengan misi tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan
alternatif dengan memiliki ciri khas yaitu pendidikan Islam ingin
mengejawantakan nilai-nilai keIslaman.[15]
D. Pendidikan Islam
dalam UUSPN
Sistem
pendidikan Nasional merupakan sarana formal dalam membentuk manusia Indonesia
yang bersifat utuh yakni manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil, berbudi luhur
dan berkepribadian Indonesia.[16]
Pendidikan Islam dan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Hal ini dapat ditelusuri dari 3 segi, pertama dari konsep penyusunan sistem
pendidikan nasional itu sendiri, kedua dari hakikat pendidikan islam dalam
kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia, ketiga dari segi kedudukan
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. [17]
Pancasila
sebagai landasan ideologis bangsa Indonesia pada sila pertama pancasila itu
sendiri ialah ketuhanan Yang Maha Esa . Dalam bingkai ideology, pembangunan pendidikan agama dalam sistem
pendidikan nasional secara jelas didudukkan dalam peraturan perundangkan yang
mengatur tentang penyelenggaraaan pendidikan Indonesia.
Pada masa
awal kemerdekaan pokok-pokok pendidikan yang diusulkan Badan Pekerja komite
Nasional Indonesia pusat (BPKNIP) menyatakan bahwa pengajaran agama hendaklah
mendapatkan tempat yang teratur dan seksama , hingga cukup mendapatkan
perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan
yang berkendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan ini
baiknya kementrian melakukan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan
pesantren-pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan
pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat
Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata
dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.[18]
Selanjutnya
pada masa orde lama pendidikan Agama telah dilaksanakan di Sekolah negeri
melelui surat edaran ki Hajar dewantara serta penetapan bersama mentri Agama,
dan mentri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Nomor: 1285/K.7 dan 1142/BHG.A
tanggal 12 Desember 1946 yang kemudian diperbaharui dengan peraturan bersama
nomor : 17678/Kab dan K/9180 tanggal 16 Juli 1951. Selanjutnya Tap MPR No
II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan Agama sebagai mata
pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[19]
Undang-undang No.2 Tahun 1989, Bab IX pasal 39 ayat 2 dan 3 menyatakan bahwa :
Ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat
: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Setelah
masa reformasi pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan agama yaitu
dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 : kurikulum pendidikan
dasar wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan
Bahasa, Matematika, IPA, IPS, seni dan Budaya, Penjas dan olahraga,
Ketrampilan, Muatan Lokal. Dan ayat 2 : kurikulum Pendidikan tinggi wajib
memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa.[20]
PP No 47
Tahun 2008 menyebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal
yang harus di diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah
dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar dan madrasah
Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan
madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat.[21]
Dalam PP nomor 55 Tahun 2007 pasal 2 ayat 1 memberikan pengertian bahwa pendidikan
agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian , serta ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya
, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan agama berfungsi membentuk
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan , hubungan inter dan
antar umat beragama.
PMA No.16
tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib menyelenggarakan
pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik berhak memperoleh
pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama.
Sebelum
UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan belum diakui sederajat dengan pendidikan
formal lain, yang diakui baru madrasah, yaitu : melalui UUSPN No.2 1989 dan
madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan umum berciri khas Islam. Pada UU
sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri sendiri menjadi salah satu jenis
pendidikan yang kemudian diakui negara sedrajat dengan jenis pendidikan
madrasah dan sekolah. Berikut bagan
tentang kesetaraan pendidikan sekolah, madrasah, dan pendidikan Agama
versi UU sisdiknas Tahun 2003.
Pemerintah
melalui UU sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mengistilahkan penyeragaman terhadap
hal-hal tertentu tersebut sebagi standarisasi Nasional pendidikan (SNP) . SNP
dapat digunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan yang berkembang di
masyarakat dengan kebijakan negara melalui deal-deal yang bisa disepakati. Aturan
standarisasi pendidikan kemudian
dituangkan secara lebih rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004. Dengan aturan baru
ini, semua jenis pendidikan yang selama ini tidak diakui persamaannya dengan pendidikan
umum formal, dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal dipenuhi.[22]
Sebelum
UU sisdiknas Tahun 2003, pemerintah melalui KHA Wahid Hasyim selaku mentri
Agama, sebelumnya beliau melakukan pembaharuan Pendidikan Agama Islam melalui
Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1950.
Yang menginstruksikan pemberian pembelajaran Umum di Madrasah dan
sekolah-sekolah umum. Persaingan dengan madrasah modern membuat pesantren
berramai-ramai mengadopsi madrasah ke dalam pesantren. Lebih dari itu pesantren
semakin membuka kelembagaannya dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi
kepentingan pendidikan umum. Pesantren Tebuireng adalah pesantren pertama yang
mendirikan SMP dan SMA.[23]
Dengan UU
SISDIKNAS ini maka, penyelenggaraan pendidikan menjadi satu sistem dalam
Pendidikan Nasional. Oleh karena dalam undang-undang tersebut sudah tidak
dibedakan antara pendidikan “Sekolah Umum” dan madrasah sebagaimana dapat
dilihat dalam undang-undang tersebut pada Bab VI tentang Jalur, Jenjang dan
Jenis Pendidikan:
E. Reposisi Pendidikan
Islam di Era Otonomi Daerah
Tidak
bisa dipungkiri lagi, bahwa pendidikan islam di Indonesia lahir dari, oleh dan
untuk rakyat, oleh karena itu pendidikan islam pada hakikatnya dimiliki dan
kelola oleh masyarakat secara demokratis.
Ketika banyak pihak berbicara tentang strategi pendidikan dengan
pendekatan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat, madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah
memilikipengalaman dan sejarah
panjang mengenai hal
tersebut.Inilah kekuatan utama
yangdimiliki oleh Pendidikan islam.
Menurut Undang-UndangNomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah padapasal 1
ayat (5), dikemukakan
bahwa otonomi daerah
adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Daerah
otonom yang dimaksud
disini adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kehadiran UU Nomor32
tahun 2004 (dimulai
dengan UU Nomor
29 tahun 1999) tentang
Pemerintahan Daerah, dimana
sejumlah kewenangan telah
diserahkan olehPemerintah Pusat
kepada Pemerinta Daerah, memungkinkan daerah untuk melakukankreasi, inovasi dan
improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk dalambidang pendidikan.
Berubahnya kewenangan dari
sistem sentralisasi ke
desentralisasidalam
pengelolaan pendidikan mengandung
pengertian terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih
luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri
yang dihadapi di bidang pendidikan.Desentralisasi pendidikan diterapkan
untuk peningkatan mutu
pendidikan. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa
dampak positif atas
kebijakan desentralisasi pendidikan,
meliputi: a) peningkatan mutu;
b) efisien keuangan;
c) efisiensi administrasi;
dan d) perluasan/pemerataa.
Dengan demikian, keberadaan otonomi berarti mempunyai “peraturan
sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk
membuat peraturan sendiri.Kemudian istilah
otonomi ini berkembang
menjadi “pemerintahan sendiri”.Dalam
artian pemerintahan sendiri ini berarti mulai dari peraturan perundang- undangan
dan pelaksanaan dilakukan sendiri oleh daerah yang mempunyai kewenangan tersebut[24]
Mengenai bidang pendidikan khususnya pendidikan Islam, maka dengan bergulirnya UU tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian berlanjut pada otonomi pendidikan,dalampolitical decentralization, kewenangan
yang dilimpahkan bersifat mutlak, sedangkan
dalam administrative
decentralization, kewenangan yang dilimpahkan hanya
berupa strategi pelaksanaan
tugas yang pelaksanaan tugas pendidikannya dilakukandi daerahnya[25]
Dengan desentralisasi ini
maka keberadaan Pendidikan Isalam bisa dimaknai sebagai bentuk reposisi
madrasah. Hal ini
karena madrasah merupakan
community based education. Oleh
sebab itu, di era otonomi
daerah dan otonomi
pendidikan, reposisi kelembagaan
Islamdalam hal ini
madrasah, ditujukan pada
berkembangnya identitas lembaga tersebut
yang pada akhirnya
akan melahirkan pribadi
peserta didik yang mempunyai
identitas karena pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya.
F. Peran Kementrian Agama
Perkembangan
pendidikan islam setelah kemerdekaan sangat terkait dengan peran kementrian
agama yang mulai resmi berdiri 3 januari 1946. Lembaga ini secara insiatif
memperjuangkan politik pendidikan islam di Indonesia. Secara lebih spesifik
usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama. Di tengah berkobarnya revolusi fisik,
pembinaan pendidikan agama itu secaraformal institusional dipercayakan kepada Departemen agama dan Dep dik
Bud. Oleh karena itu maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara
kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah
umum (negeri dan swasta). Adapun pemnbinaan pendidikan agama di sekolah agama
ditangani oleh Departemen Agama sendiri.
Pemerintah
membentuk Majjelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947, yang dipimpin
oleh Ki Hajar Dewantoro dari Departemen P & K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit
dariDepartemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran
agama yang diberikan di sekolah umum. Pada tahun 1950 dimana kedaulatan
Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama
untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia
bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr.
Hadi dari Departemen P&K. Hasil dari panitia itu adalah SKB yang
dikeluarkan pada bulan Januari 1951.
Penyelenggaraan
pendidikan agama mendapatperhatian serius dari pemerintah setelah Indonesia
merdeka, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan
memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang danjurkan oleh
Badan Pekerja Komite nasioanal Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang
menyebutkan bahwa Madrasah dan Pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan
sumber pendidikan dan pencerahan rakyat jelata yang sudah berurat akar
dalammasyarakat Indonesia umumnya, hendaknya pula mendapat perhatian dan
bantuan nyata berupa tuntutan dan bantuan dari pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari yang telah dipaparkan dalam
makalh diatasa dapat ditarik kesimpulan bahwasannya, ada beberapa hal yang
terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga
pendidikan islam di indonesia, antara lain:
Sesuatu yang berkaitan dengan Historis
Pendidikan islam di Indonesai,
permasalahan-permasalahan dalam Pendidikan Islam, Pendidikan Islam sebagai
Subsistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Islam dalam UUSPN, Reposisi
Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah, Serta Peran Kementrian
Agama
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan
Agama Islam Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia
Alam, 2005)
Abdur Rahman
Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka Press,
2007),
Abudin Nata,
Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan islam di
Indonesia (Jakarta: Grasindo 2001)
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (bandung: Rosdakarya, 2012 )
Amin
Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan
diklat Kementrian Agama RI, 2010 )
Andewi
Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal.
191.
Ari H
Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, ( Jakarta : Bina
Aksara, 1986),
Azyumardi
Azra, Tradisi dan Modernisasi menuju milienium baru ,(Ciputat Logos 1999).
Hanun
Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Josef
Riwo
Kaho”Proyek Otonomi Daerah Dinegara Indonesi “( Jakarta : Rajawali Pres ,1991)
Makmuri,
Dkk “Demokrasi Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI, 2003) Hal2
Muhammad Kholid
Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, ( Jakarta : DEPAG RI, 2005)
Nur Cholis Majid, Bilik
Bilik Pesantren (Jakarta Paramadina 1997)
Ramayulis,
Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia, 2011
Samsul
Nizar, Sejarah Pemikiran dan Pergolakan Pendidikan Islam (Ciputat:
Quantum Teching, 2005)
Sudjono
Prasodjo, Profil Pesantren (Jakarta LP3S 1982)
Sulaiman
Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju
Pendidikan
Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Zamaksari
Dhofir, Tradsisi Pesantren, Studi Tentang pandangan Hidup Kyai (Jakarta,
LP3S 1983)
[2] Surau
dibangun oleh suku indu untuk berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi
pemuda-pemuda (mahfudz Junaedi, Rekontruksi Sejarah Hal 47
[3] Samsul
Nizar, Sejarah Pemikiran dan Pergolakan Pendidikan Islam (Ciputat:
Quantum Teching, 2005) Hal. 280
[4] Syamsu Nizar, Sejarah pendidikan, Hal 280
[5] Abudin
Nata, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan islam
di Indonesia (Jakarta: Grasindo 2001) Hal 42
[6]
Zamaksari
Dhofir, Tradsisi Pesantren, Studi Tentang pandangan Hidup Kyai (Jakarta,
LP3S 1983) Hal. 18
[7] Nur Cholis
Majid, Bilik Bilik Pesantren (Jakarta Paramadina 1997) Hal 5
[8]
Sudjono
Prasodjo, Profil Pesantren (Jakarta LP3S 1982) Hal 6
[9]
Nur Cholis
Majid, Bilik Bilik Pesantren (Jakarta Paramadina 1997) Hal 103
[10] Azyumardi
Azra, Tradisi dan Modernisasi menuju milienium baru ,(Ciputat Logos
1999). Hal 95
[13]
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (bandung: Rosdakarya, 2012 ) hal.11.
[14] Sulaiman
Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju
Pendidikan Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika, hal.
5.
[15] Abdurrahman
Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan
Agama Islam Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia
Alam, 2005), hal.4.
[16] Abdur
Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka
Press, 2007), hal.134.
[17] Andewi
Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal.
191.
[18] Ari H Gunawan,
Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, ( Jakarta : Bina Aksara,
1986), hal.33.
[19] Amin
Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan
diklat Kementrian Agama RI, 2010 ), hal. v.
[20] Andewi
Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal.
195
[21] Amin
Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan
diklat Kementrian Agama RI, 2010 ), hal. 9
[22]
Muhammad
Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, ( Jakarta
: DEPAG RI, 2005), hal 6
[23] Hanun,
Asroha, Sejarah pendidikan Islam,
( Jakarta : LOGOS wacana ilmu, 1999),
[24]
Josef Riwo Kaho”Proyek Otonomi Daerah Dinegara Indonesi “( Jakarta : Rajawali
Pres ,1991) Hal 14
[25]
Makmuri, Dkk “Demokrasi Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI,
2003) Hal2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar