Rabu, 07 September 2016

Kebijakan Pemerintah Terhadap Lembaga Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan agama merupakan suatu landasan filosofis religious pendidikan. Pada hakikatnya segala pengetahuan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui utusanNya berupa wahyu, maupun berbagai hal yang ada di alam semesta. Kebenaran pengetahuan bersifat mutlak seperti dalam pengetahuan keagamaan karena bersumber langsung dari Tuhan. Dilihat dari kemajemukan agama yang ada di Indonesia agama Islam mendominasi ragam agama yang ada, maka mayoritas penduduk di Indonesia menganut agama Islam. Dari alasan diatas dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, Negara Indonesia memasukkan Sistem Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, karena pendidikan agama dapat memainkan peranan yang lebih kuat dalam upaya memperbaiki akhlaq masyarakat. Pendidikan agama juga sangat dianjurkan sekalipun di Negara yang maju, karena sifat religiusitas harus ditanamkan. Dengan adanya itu, orang akan mempunyai pegangan dan mempunyai rasa Ketuhanan dan Keimanan
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana Pendidikan Islam dalam Perspektif Historis?
2.         Apa saja permasalahan-permasalahan dalam Pendidikan Islam?
3.         Bagaimana Pendidikan Islam sebagai Subsistem Pendidikan Nasional?
4.         Bagaimana Pendidikan Islam dalam UUSPN?
5.         Bagaimana Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah?
6.         Bagaimana Peran Kementrian Agama?
C.      Tujuan Pembahasan
1.    Untuk Mengetahui Pendidikan Islam dalam Perspektif Historis
2.    Untuk Mengetahui permasalahan-permasalahan dalam Pendidikan Islam
3.    Untuk Mengetahui Pendidikan Islam sebagai Subsistem Pendidikan Nasional
4.    Untuk Mengetahui Pendidikan Islam dalam UUSPN
5.    Untuk Mengetahui Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah
6.    Untuk Mengetahui Peran Kementrian Agama



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perspektif Historis
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendatipun dalam  sistem yang masih sangat sederhana, di mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, mushala, bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigenous religious adan social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren, umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, dan demikian pula masyarakat Aceh dengan mentransfer lembaga masyarakat meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam [1]
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang sangat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya yang ada di Indonesia antara lain :
1.         Lembaga Pendidikan Islam di Surau
Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertamu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur.[2] Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Miangkabau yang menganut sistem Matrilineal,[3] menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tidak punya kamar di rumah orang tuanya sendiri, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis lainnya.[4]
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada mulanya masih seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada masa ini, yaitu: 1) Pengajaran al-qur’an yang mencakup pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur’an dan membaca al-Qur’an sampai pendidikan membaca al-Qur’an dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid, dan pengajian kitab; dan 2) Pengajian Kitab yang meliputi materi tentang ilmu nahwu dan saraf, imu fiqih, ilmu tafsir dan lain-lain.
2.         Lembaga Pendidikan Islam di Meunasah
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari bahasa Arab madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap kampung/desa. Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong/desa.[5]
Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual-beli, terutama barang-barang yang tidak bergerak. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru.
3.         Lembaga pendidikan Islam di Pesantren
Pesantren atau pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.[6]
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.[7] Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.[8]
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyrakat sekitar sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat “asli” atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan. [9]
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum dan sekuler.[10] Nilai-nilai progresif dan inovatif sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
B.     Permasalahan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern. 
Hal ini pun didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam sistem pendidikan Islam yang masih berkutat apa yang oleh Muhammad Abed al-Jabiri, pemikir asal Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau dalam bahasa Amin Abdullah disebut dengan hadharah an-nashsh (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih semata.
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. 
Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sisitem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman. Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis. Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.
Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock. Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif.
C.    Pendidikan Islam Sebagai Subsistem pendidikan nasional
Sistem Pendidikan Nasional telah dikembangkan dari masa ke masa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukungnya dalam setiap implementasinya, dalam rangka membangun manusia Indonesia yang lebih bermartabat, sehingga kualitas warga negara dan masyarakat Indonesia semangkit meningkat. Namun, apa yang nampak secara terbuka di sekitar kita bahwa, kondisi bangsa Indonesia tetap masih dalam keadaan terpuruk, dengan berbagai macam indikasi seperti perilaku amoral semakin merajalela tindak pidana korupsi dan lain-lain, yang dilakukan oleh warga Indonesia baik secara individual maupun kolektif, tanpa mengenal umur, tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya
Menyadari akan kondisi riil tersebut, bukan tanpa sebab, melainkan tanpa banyak diragukan oleh kebanyakan orang bahwa Sistem Pendidikan Nasional belum berfungsi dan berperan efektif dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang bermutu, termasuk di dalamnya yaitu berakhlaq terpuji. Bahkan kalau diakui secara jujur, maka pendidikan agama yang telah diberikan dari TK hingga PT belum menunjukkan hasil dan dampak yang positif secara berarti.
Hal ini boleh jadi disebabkan pula oleh posisi pendidikan agama Islam belum strategis. Pendidikan agama Islam belum bisa memberikan materi yang relevan, proses pendidikan (terutama pembarannya) belum kondusif, dan evaluasi pendidikan belum menyeluruh.
Ahmad Tafsir, menjelaskan kegagalan sistem pendidikan nasional kita adalah ada ketidaksesuaian antara Pancasila dan UUD 1945 dengan UU Nomor 20/2003. UUD 45 harus menurunkan seluruh nilai yang ada didalam Pancasila. Nilai pertama dan yang paling utama dalam Pancasila adalah Ketuhanan YME dan nilai ini adalah corePancasila. Nilai ini turun dengan sempurna dalam UUD 45 dengan bukti ungkapan “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa”. Jadi core UUD 45 adalah Ketuhanan YME. Namun yang agak disayangkan core itu tidak turun secara sempurna ke dalam UU Nomor 20/2003 yang berbunyi bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, beakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[11]
Pasal ini menurut Tafsir masih belum secara konkrit menyatakan keimanan menjadi inti pendidikan nasional. Sehingga inilah yang menjadi pokok permasalahan dan akibatnya parah sekali; keimanan tidak menjadi inti kurikulum sekolah, selanjutnya pelaksanaan pendidikan disekolah tidak mejnajdikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan daln lebih jauh lulusan sekolah kita tidak memiliki keimanan yang kuat.[12] Tetapi setidak-tidaknya telah  nampak bahwa UU Sisdiknas menjadi penengah sehingga, ada integrasi interkoneksi antara pendidikan Islam dengan pendidikan nasional yang tercermin dalam beberapa hal: Pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam pendidikan nasional, pendididikan agama Islam dengan sendirinya dimasukkan ke dalam jalur sekolah. Ketiga, meskipun pendidikan agama Islam sudah diberi status pendidikan sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama Islam memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syari’ah. Pada jurusan ini 70% muatan kurikulumnya adalah bidang-bidang studi agama.[13]
Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan pendidikan yang Islami menjadi pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan Islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya (amal saleh). Dengan demikian pendidikan yang Islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai ilahiyah yang transcendental.[14]
Sehingga, sebagai subsistem pendidikan nasional, pendidikan Islam bisa menjalankan tujuan khusus yang harus dicapai, dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistennya. Visi pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang bhinneka. Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keIslaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif. Hal ini sejalan dengan trend kehidupan era modern, agama dan intelek akan saling bertemu. Dengan misi tersebut pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatif dengan memiliki ciri khas yaitu pendidikan Islam ingin mengejawantakan nilai-nilai keIslaman.[15]
D.    Pendidikan Islam dalam UUSPN
Sistem pendidikan Nasional merupakan sarana formal dalam membentuk manusia Indonesia yang bersifat utuh yakni manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil, berbudi luhur dan berkepribadian Indonesia.[16] Pendidikan Islam dan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dapat ditelusuri dari 3 segi, pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional itu sendiri, kedua dari hakikat pendidikan islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia, ketiga dari segi kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. [17]
Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa Indonesia pada sila pertama pancasila itu sendiri ialah ketuhanan Yang Maha Esa . Dalam bingkai ideology,  pembangunan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional secara jelas didudukkan dalam peraturan perundangkan yang mengatur tentang penyelenggaraaan pendidikan Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan pokok-pokok pendidikan yang diusulkan Badan Pekerja komite Nasional Indonesia pusat (BPKNIP) menyatakan bahwa pengajaran agama hendaklah mendapatkan tempat yang teratur dan seksama , hingga cukup mendapatkan perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan ini baiknya kementrian melakukan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.[18]
Selanjutnya pada masa orde lama pendidikan Agama telah dilaksanakan di Sekolah negeri melelui surat edaran ki Hajar dewantara serta penetapan bersama mentri Agama, dan mentri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Nomor: 1285/K.7 dan 1142/BHG.A tanggal 12 Desember 1946 yang kemudian diperbaharui dengan peraturan bersama nomor : 17678/Kab dan K/9180 tanggal 16 Juli 1951. Selanjutnya Tap MPR No II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan Agama sebagai mata pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[19] Undang-undang No.2 Tahun 1989, Bab IX pasal 39 ayat 2 dan 3 menyatakan bahwa : Ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Setelah masa reformasi pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan agama yaitu dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 : kurikulum pendidikan dasar wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa, Matematika, IPA, IPS, seni dan Budaya, Penjas dan olahraga, Ketrampilan, Muatan Lokal. Dan ayat 2 : kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa.[20]
PP No 47 Tahun 2008 menyebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus di diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar dan madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat.[21] Dalam PP nomor 55 Tahun 2007 pasal 2 ayat 1 memberikan pengertian bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian , serta ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya , yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan , hubungan inter dan antar umat beragama.
PMA No.16 tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Sebelum UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan belum diakui sederajat dengan pendidikan formal lain, yang diakui baru madrasah, yaitu : melalui UUSPN No.2 1989 dan madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan umum berciri khas Islam. Pada UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri sendiri menjadi salah satu jenis pendidikan yang kemudian diakui negara sedrajat dengan jenis pendidikan madrasah dan sekolah. Berikut bagan  tentang kesetaraan pendidikan sekolah, madrasah, dan pendidikan Agama versi UU sisdiknas Tahun 2003.
Pemerintah melalui UU sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mengistilahkan penyeragaman terhadap hal-hal tertentu tersebut sebagi standarisasi Nasional pendidikan (SNP) . SNP dapat digunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan yang berkembang di masyarakat dengan kebijakan negara melalui deal-deal  yang bisa disepakati. Aturan standarisasi  pendidikan kemudian dituangkan secara lebih rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004. Dengan aturan baru ini, semua jenis pendidikan yang selama ini tidak diakui persamaannya dengan pendidikan umum formal, dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal dipenuhi.[22]
Sebelum UU sisdiknas Tahun 2003, pemerintah melalui KHA Wahid Hasyim selaku mentri Agama, sebelumnya beliau melakukan pembaharuan Pendidikan Agama Islam melalui Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1950.  Yang menginstruksikan pemberian pembelajaran Umum di Madrasah dan sekolah-sekolah umum. Persaingan dengan madrasah modern membuat pesantren berramai-ramai mengadopsi madrasah ke dalam pesantren. Lebih dari itu pesantren semakin membuka kelembagaannya dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pesantren Tebuireng adalah pesantren pertama yang mendirikan SMP dan SMA.[23]
Dengan UU SISDIKNAS ini maka, penyelenggaraan pendidikan menjadi satu sistem dalam Pendidikan Nasional. Oleh karena dalam undang-undang tersebut sudah tidak dibedakan antara pendidikan “Sekolah Umum” dan madrasah sebagaimana dapat dilihat dalam undang-undang tersebut pada Bab VI tentang Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan:
E.     Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa pendidikan islam di Indonesia lahir dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena itu pendidikan islam pada hakikatnya dimiliki dan kelola oleh masyarakat secara demokratis.
Ketika banyak pihak berbicara tentang strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memilikipengalaman  dan  sejarah  panjang  mengenai  hal  tersebut.Inilah  kekuatan  utama  yangdimiliki oleh Pendidikan islam.
 Menurut Undang-UndangNomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah padapasal  1  ayat  (5),  dikemukakan  bahwa  otonomi  daerah  adalah  hak,  wewenang  dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan  kepentingan  masyarakat  setempat  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan. Daerah  otonom  yang  dimaksud  disini  adalah  kesatuan  masyarakat  hukum  yang mempunyai  batas-batas  wilayah  yang  berwenang  mengatur  dan  mengurus  urusan pemerintahan  dan  kepentingan  masyarakat  setempat  menurut  prakarsa  sendiri berdasarkan  aspirasi  masyarakat  dalam  sistem  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia.
Kehadiran  UU  Nomor32  tahun  2004  (dimulai  dengan  UU  Nomor  29  tahun  1999) tentang  Pemerintahan  Daerah,  dimana  sejumlah  kewenangan  telah  diserahkan  olehPemerintah Pusat kepada Pemerinta Daerah, memungkinkan daerah untuk melakukankreasi, inovasi dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk dalambidang  pendidikan.  Berubahnya  kewenangan  dari  sistem  sentralisasi  ke  desentralisasidalam  pengelolaan  pendidikan  mengandung  pengertian  terjadinya  pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri yang dihadapi di bidang pendidikan.Desentralisasi pendidikan  diterapkan  untuk  peningkatan  mutu  pendidikan.  Hal  ini  didasarkan  pada asumsi  bahwa  dampak  positif  atas  kebijakan  desentralisasi  pendidikan,  meliputi:  a) peningkatan  mutu;  b)  efisien  keuangan;  c)  efisiensi  administrasi;  dan  d) perluasan/pemerataa.
Dengan demikian, keberadaan otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau  mempunyai  hak/kekuasaan/kewenangan  untuk  membuat  peraturan sendiri.Kemudian  istilah  otonomi  ini  berkembang  menjadi  “pemerintahan sendiri”.Dalam artian pemerintahan sendiri ini berarti mulai dari peraturan perundang- undangan dan pelaksanaan dilakukan sendiri oleh daerah yang mempunyai kewenangan tersebut[24]
Mengenai  bidang  pendidikan khususnya pendidikan  Islam, maka dengan bergulirnya UU tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berlanjut pada otonomi pendidikan,dalampolitical decentralization, kewenangan yang dilimpahkan bersifat  mutlak,  sedangkan  dalam administrative decentralization, kewenangan  yang dilimpahkan  hanya  berupa  strategi  pelaksanaan  tugas yang pelaksanaan tugas pendidikannya dilakukandi daerahnya[25]
Dengan  desentralisasi  ini  maka  keberadaan  Pendidikan Isalam  bisa dimaknai sebagai bentuk  reposisi  madrasah.  Hal  ini  karena  madrasah  merupakan  community  based education.  Oleh  sebab  itu,  di  era  otonomi  daerah  dan  otonomi  pendidikan, reposisi kelembagaan  Islamdalam  hal  ini  madrasah,  ditujukan  pada  berkembangnya  identitas lembaga  tersebut  yang  pada  akhirnya  akan  melahirkan  pribadi  peserta  didik yang mempunyai identitas karena pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya.
F.     Peran Kementrian Agama
Perkembangan pendidikan islam setelah kemerdekaan sangat terkait dengan peran kementrian agama yang mulai resmi berdiri 3 januari 1946. Lembaga ini secara insiatif memperjuangkan politik pendidikan islam di Indonesia. Secara lebih spesifik usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama.  Di tengah berkobarnya revolusi fisik, pembinaan pendidikan agama itu secaraformal institusional dipercayakan kepada Departemen agama dan Dep dik Bud. Oleh karena itu maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta). Adapun pemnbinaan pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen Agama sendiri.
Pemerintah membentuk Majjelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947, yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dari Departemen P & K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dariDepartemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum. Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P&K. Hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951.
Penyelenggaraan pendidikan agama mendapatperhatian serius dari pemerintah setelah Indonesia merdeka, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang danjurkan oleh Badan Pekerja Komite nasioanal Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa Madrasah dan Pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerahan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalammasyarakat Indonesia umumnya, hendaknya pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntutan dan bantuan dari pemerintah.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari yang telah dipaparkan dalam makalh diatasa dapat ditarik kesimpulan bahwasannya, ada beberapa hal yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga pendidikan islam di indonesia, antara lain:
Sesuatu yang berkaitan dengan Historis Pendidikan islam di Indonesai, permasalahan-permasalahan dalam Pendidikan Islam, Pendidikan Islam sebagai Subsistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Islam dalam UUSPN, Reposisi Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah, Serta Peran Kementrian Agama 


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia Alam, 2005)
Abdur Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka Press, 2007),
Abudin Nata, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo 2001)
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (bandung: Rosdakarya, 2012 )
Amin Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan diklat Kementrian Agama RI, 2010 )
Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal. 191.
Ari H Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, ( Jakarta : Bina Aksara, 1986),
Azyumardi Azra, Tradisi dan Modernisasi menuju milienium baru ,(Ciputat Logos 1999).
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Josef Riwo Kaho”Proyek Otonomi Daerah Dinegara Indonesi “( Jakarta : Rajawali Pres ,1991)
Makmuri, Dkk “Demokrasi Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI, 2003) Hal2
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, ( Jakarta :  DEPAG RI, 2005)
Nur Cholis Majid, Bilik Bilik Pesantren (Jakarta Paramadina 1997)
Ramayulis,  Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia, 2011
Samsul Nizar, Sejarah Pemikiran dan Pergolakan Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teching, 2005)
Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren (Jakarta LP3S 1982)
Sulaiman Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju
Pendidikan Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika,
Zamaksari Dhofir, Tradsisi Pesantren, Studi Tentang pandangan Hidup Kyai (Jakarta, LP3S 1983)
Zuhairini, dkk. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 11



[1] Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Hal. 144
[2] Surau dibangun oleh suku indu untuk berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda (mahfudz Junaedi, Rekontruksi Sejarah Hal 47
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pemikiran dan Pergolakan Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teching, 2005) Hal. 280
[4]  Syamsu Nizar, Sejarah pendidikan, Hal 280
[5] Abudin Nata, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo 2001) Hal 42
[6] Zamaksari Dhofir, Tradsisi Pesantren, Studi Tentang pandangan Hidup Kyai (Jakarta, LP3S 1983) Hal. 18
[7] Nur Cholis Majid, Bilik Bilik Pesantren (Jakarta Paramadina 1997) Hal 5
[8] Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren (Jakarta LP3S 1982) Hal 6
[9] Nur Cholis Majid, Bilik Bilik Pesantren (Jakarta Paramadina 1997) Hal 103
[10] Azyumardi Azra, Tradisi dan Modernisasi menuju milienium baru ,(Ciputat Logos 1999).  Hal 95
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (bandung: Rosdakarya, 2012 ) hal. 75.
[12] Ibid, hal. 300-304.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (bandung: Rosdakarya, 2012 ) hal.11.
[14] Sulaiman Ibrahim. Menata Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan) Hunafa: Jurnal Studia Islamika, hal. 5.
[15] Abdurrahman Assegaf. Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam Dari Pra Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Karunia Alam, 2005), hal.4.
[16] Abdur Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka Press, 2007), hal.134.
[17] Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal. 191.
[18] Ari H Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, ( Jakarta : Bina Aksara, 1986),  hal.33.
[19] Amin Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan diklat Kementrian Agama RI, 2010 ), hal. v.
[20] Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal. 195
[21] Amin Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan diklat Kementrian Agama RI, 2010 ), hal. 9
[22] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, ( Jakarta :  DEPAG RI, 2005), hal 6
[23] Hanun, Asroha,  Sejarah pendidikan Islam, ( Jakarta : LOGOS wacana ilmu, 1999),
[24] Josef Riwo Kaho”Proyek Otonomi Daerah Dinegara Indonesi “( Jakarta : Rajawali Pres ,1991) Hal 14
[25] Makmuri, Dkk “Demokrasi Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI, 2003) Hal2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar