Sabtu, 28 Mei 2016

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM ALIRAN PRAGMATIS INSTRUMENTAL IBN KHALDUN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah. Aktivitas yang dimaksu dtersimpul dalam ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa manusia adalah khalifah Allah. Manusia sebagai khalifah Allah memikul beban yang sangat berat. Tugas ini dapat diaktualisasikan jika manusia dibekali dengan pengetahuan. Hal itu bisa dipenuhi dengan proses pendidikan[1].
Pendidikan adalah usaha atau proses perubahan dan perkembangan manusia menuju kearah yang lebih baik dan sempurna. Adanya ungkapan bahwa pendidikan merupakan proses perbaikan dan menuju kesempurnaan, hal itu mengandung arti bahwa pendidikan bersifat dinamis karena jika kebaikan dan kesempurnaan tersebut bersifat statis maka ia akan kehilangan nilai kebaikannya. Gerak dinamis yang continue telah dilakukan oleh nabi dan membuahkan hasil berupa pembangunan peradaban Islam yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat dunia saat itu dan bahkan hingga sekarang ini.[2]
Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses perubahan menuju arah positif. Dalam konteks sejarah perubahan yang positif ini adalah jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad. Pendidikan Islam dalam konteks perubahan kearah positif ini identik dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Sejak wahyu pertama diturunkan dengan program Iqra’ (membaca) pendidikan Islam praksis telah lahir, berkembang, dan eksis dalam kehidupan umat Islam yakni sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan menghadirkan Tuhan.
Pendidkan Islam terjadi sejak Nabi diangkat menjadi Rasul di Makkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang, seiring dengan hal itu banyak bermunculan tokoh-tokoh intelektual Muslim yang memiliki perhatian terhadap masalah pendidikan Islam. Beragam pemikiran pendidikan Islam telah dihasilkan oleh para Ilmuwan Muslim, Waktu terus berjalan, pendidikan pun terus berkembang bersama hiruk pikuk hidup dan kehidupan insan. Problem-problem pendidikan pun bermunculan begitu cepat secepat cendawan tumbuh di musim hujan. Ilmu pendidikan bertanggung jawab untuk memecahkan problem-problem tersebut, untuk itu tidaklah ringan tanggung jawab yang diemban, karena begitu kompleks problem-problem yang ada di dunia pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun meminta pertolongan padapihak lain, pihak filsafat pendidikan, karena problem yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan sudah memasuki wilayah atau lingkaran hakikat. Manakala problem pendidikan memasuki lingkaran yang substansial atau filosofis kiranya ilmu pendidikan menyerahkan garapan itu pada filsafat pendidikan. Pemikiran – pemikiran tentang pendidikan pun telah bermunculan dalam rangka memberikan jawaban atau konsep pendidikan yang dapat menjawab berbagai tantangan perubahan zaman.
Terdapattigaaliranutamadalampemikiranpendidikan Islam, yaitu: aliran agamis konservatif dengan tokohnya imam Ghazali, aliran religious rasional yang diwakili oleh Ikhwanu as-Shofa dan aliran pragmatis dengan tokoh utamanya Ibn Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis, yang selanjutnya akan kami bahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian dari aliran pendidikan pragmatis instrumental ?
2.   Bagaimana konsep pendidikan islam dalam aliran pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun ?
3.    Bagaimana Relevansi konsep pendidikan islam pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun terhadap pendidikan islam saat ini ?
C. Tujuan Pembahasan
1.  Untuk Menjelaskan pengertian dari aliran pendidikan pragmatis instrumental
2. Untuk Menjelaskan konsep pendidikan islam dalam aliran pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun
3.  Untuk Menjelaskan relevansi konsep pendidikan islam pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun dengan pendidikan islam saat ini. 

  BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Pendidikan Aliran Pragmatis Instrumental
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat scara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.[3]
Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah, sedang pengetahuan sebagai transaksi manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Nilai sesuatu yang relatif, selalu berubah, dan tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari pengalaman-pengalaman individu.[4]
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu  ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.  Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmatisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.[5]
Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat pragmatisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat pragmatisme dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu.
Dalam Islam, Aliran pendidikan pragmatis yang digulirkan Ibnu khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Ia mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan material. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beranekaragam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.
Ibn Khaldun adalah tokoh satu-satunya dari aliran ini, karena pemikirannya lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi praktis. Secara ringkas biasa dikatakan bahwa alliran pragmatis yang digulirkan oleh Ibn Khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Bila kalangan koservatif mempersempit ruang lingkup “sekuler” di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf, sedang kalangan rasionalis dalam sistem pendidikannya berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua disiplin ilmu yang dianggap substantif bernilai. Maka Ibn Khaldun mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan material. Meskipun demikian, Ibn Khaldun sejalan dengan kalangan rasionalis dalam hal penngakuan rasio (al-‘aql) atau daya piker (al-fikr).[6]
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilmwa al-Ta’lim Thabi’iyyun fi al’Umran al-Basyari. Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban (al-‘Umran) manusia. Hal itu di mungkinkan karena manusia dibekali dengan akal, yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu. Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di sekitarnya. Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-‘Uluminnama Takastsrat Haisuyaksurual’Umranwa Ta’adzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.[7]
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali seseorang menjadi ahli hingga keahliannya itu tertanam beruratakar di dalam jiwanya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corakjiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. Pemikirannya jika dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi praktis[8].
Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan fungsinya, bukan berdasarkan nilai substansialnya semata. Berdasarkan hal tersebut ia membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian;
1.    Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan tafsir, hadis, fikih, kalam, ontology dan teologi dari cabang filsafat
2.    Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik instrumental bagi ilmu-ilmu yang pertama. bahasa Arab, ilmu hitung, dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat.
Berangkat dari orientasi kepraktisan, dia memperboleh kan mendalami ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Adapun mengenai ilmu-ilmu ekstrinsik instrumental dia tidak menginginkan terjadinya diskursus rasional mengenai ilmu ini kecuali jika diletakkan dalam kerangka kegunaan bagi jenis ilmu yang bernilai instrinsik

B. Konsep Pendidikan Islam dalam Aliran Pragmatis Instrumental menurut pandangan Ibn Khaldun
Berbicara tentang pendidikan Islam, maka mau tidak mau harus berbenturan dengan tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalamnya. Diantara tokoh pendidikan Islam yang tidak kecil kontribusinya adalah Ibnu Khaldun . Tokoh yang satu ini memilki tempat tersendiri dalam dunia pendidikan Islam. Pemikiran-pemikirannya selalu menjadi bahan perbincangan di kalangan praktisi pendidikan. Baik itu pada masanya maupun pada masa-masa sesudahnya. Sedemikian besar kontribusi dalam dunia pendidikan, pemikirannya tidak hanya di konsumsi oleh para praktisi pendidikan Islam tetapi juga banyak sarjana-sarjana barat yang menjadikannya sebagai rujukan dalam penelitian-penelitian yang dikembangkannya.
Walhasil, mengkaji pemikiran tokoh pendidikan yang satu ini selalu menarik perhatian para akademisi. Konsep pemikirannya tidak hanya menarik pada zamannya saja tetapi juga sangat urgen untuk dijadikan sebagai rujukan dalam dunia pendidikan modern. Apalagi bila berbicara tentang dunia pendidikan Islam di Indonesia yang saat ini masih mencari jatidirinya, maka merujuk kepada tokoh pemikiran masa lalu –termasuk Ibnu Khaldun di dalamnya- adalah suatu keniscayaan. Hal ini sangatlah wajar, mengingat masa keemasan pendidikan Islam telah mereka torehkan dengan gemilang. Dan sejatinya, umat ini tidak akan pernah berkembang dan maju melainkan dengan mengikuti apa yang telah diaplikasikan oleh para pendahulunya.[9]
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Tradisi penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmia memuat pengetahuan yang otentik[10]
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.    Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bias meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bias demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.    Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi.
c.    Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.
Ibnu Khaldun adalah satu-satunya tokoh dari aliran pragmatis-instrumental. Berikut ini adalah  pandangan Ibnu Khaldun terhadap  konsep  pendidikan Islam  jika dilihat  dari  berbagai sudut pandang. Diantaranya :
a)  Tujuan Pendidikan
Dalam konsep pendidikan, Ibnu Khaldun lebih mendominasikan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, metode, alat dan tekniknya bercorak agama, termasuk segala hal yang diajarkan dan diamalkan dalam lingkungan agama dan akhlak serta berdasar pada al-Qur’an serta peninggalan orang-orang terdahulu yang saleh.  Fathiyah Hasan menjelaskan  bahwa  tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah  (1) memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja, mengingat karena hal ini penting untuk terbukanya pikiran dan kematangan seseorang yang akhirnya dapat bermanfaat bagi masyarakat, (2) memperoleh ilmu pengetahuan untuk mewujudkan masyarakat yang maju dan berbudaya, (3) memperoleh pekerjaan untuk mencari penghidupan.[11]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa  tujuan pendidikan  adalah
 dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan agama dan ahklak atau tujuan-tujuan   kemanfaatan yang tidak bertentangan dengan agama dan ahklak.
b) Pendidik
Ibnu Khaldun memandang bahwa usaha mendidik yang dilakukan pendidik adalah  pekerjaan yang memerlukan keahlian. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa untuk  menjadi seorang pendidik diperlukan kualifikasi tertentu, antara lain  pendidik harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan kerja akal secara bertahap. Pendidik juga dituntut untuk memiliki ilmu metodologi mengajar sesuai dengan perkembangan akal tersebut. Seorang pendidik tidak saja memiliki ilmu yang akan diajarkan, tetapi juga harus memiliki ilmu mengajar atau memahami cara mengajar yang baik, agar tidak membingungkan peserta didik sehingga tujuan pendidikan tidak terpenuhi. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Khaldun  bahwa  banyak guru dari generasi sekarang yang tidak tahu sama sekali cara-cara mengajar. Misalnya mereka sejak permulaan memberikan kepada muridnya masalah-masalah ilmu pengetahuan yang sukar dipelajari dan menuntut mereka untuk memeras otak untuk memecahkannya[12]
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya. Adapun sifat-sifat tersebut adalah:
1. Pendidik hendaknya lemah lembut, senatiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik, terutama terhadap anak-anak yang masih kecil. Hal ini disebabkan, karena dapat menimbulkan kebiasaan yang buruk bagi mereka (peserta didik); seperti pemalas, berdusta dan tidak jujur, atau berpura-pura menyatakan apa yang tidak terdapat di dalam pikirannya. Sikap yang demikian dapat terjadi disebabkan karena merasa takut disakiti dengan perlakuan yang kasar, terutama jika mereka berkata yang sebenarnya
2. Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai Uswah al-Hasanah (suri teladan) bagi peserta didik. Keteladanan di sini dipandang sebagai suatu cara yagn ampuh untuk membina akhlak dan menanamkan prinsip-prinsip terpuji kepada jiwa peserta didik. Menurut Ibn Khaldun, peserta didik akan memperoleh ilm pengetahuan, ide, akhlak, sifat terpuji dan pendidikan adalakanya dengan meniru atau melakukan kontak pribadi dengan lingkungannya, khususnya kepribadian para pendidik.
3. Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran, sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
4. Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna. Menurut Ibn Khaldun, diantara cara yang paling baik untuk mengisi waktu senggang adalah dengan membiasakan anak membaca, terutama membaca al-Qur’an, sejarah, syair-syair, hadis nabi, bahasa Arab, dan retorika.
5. Pendidik harus professional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, serta kesiapan untuk menerima pelajaran. Di antara sikap terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik ialah kemampuan mengungkapkan diri dengan jelas dalam dialog dan diskusi, serta mencoba menyampaikan kemampuan ilmiah kepada peserta didik yang dianggap sebagai suatu keahlian dalam pelajaran.[13]
c)   Peserta Didik
Ibnu Khaldun memandang  peserta didik sebagai  muta’allim  yang  dituntut untuk  mengembangkan segala potensi yang telah  dianugerahkan oleh Allah Swt. Dia memberi petunjuk kepada muta’allim agar berhasil dalam studinya dan menyatakan:    “Hai pelajar, ketahuilah bahwa saya di sini akan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi studimu.  Apabila kamu menerimanya dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh, kamu akan mendapatkan  suatu manfaat yang besar dan mulia. Bahwa kemampuan manusia adalah anugerah khusus yang alami  ciptaan Allah, sama seperti Dia menciptakan semua makhlukNya”
Pernyataan di atas  menunjukkan  bahwa Ibnu Khaldun memandang peserta didik  sebagai subyek didik, bukan obyek didik yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang optimistik terhadap peserta didik. Peserta didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai obyek didik yang memerlukan subyek didik, yaitu guru.
Perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun di dalam merujuk pengertian peserta didik, justeru menunjukkan adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah  wildan  yang memerlukan guru. Konsep ini berlaku untuk jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah  muta’allim  yang dituntut secara mandiri. Konsep ini berlaku pada jenjang pendidikan tinggi.
Ibnu Khaldun lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebgai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog. Apa yang terkesan tentang konsep manusia menurut Ibn Khaldun adalah karena ia seorang muslim. Ia telah mempunyai asumsi-asumsi kemanusian sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam oleh karena itu, konsepsi-konsepsi kemanusiannya adalah hasil dari derivikasi upaya intektual Khaldun untuk membuktikan dan memahami asumsi al-Qur’an tersebut lewat gejala dan aktivitas kemanusiaan.
Ibn Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya.Manusia, kata Ibn Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam itu tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupan, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup, proses-proses yang semacam ini melahirkan peradaban[14].
Menurut Ibn Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga meiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat.Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikiran mesti diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.  Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia di samping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat.Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
d) Kurikulum
Ibnu Khaldun membagi macam-macam ilmu yang perlu dimasukkan ke  alam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian, yaitu  (1)  ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, yang dipelajari karena faedah dari ilmu itu sendiri, seperti ilmu-ilmu syar’iyat, ilmu-ilmu tha’biyat  dan filsafat yang berhubungan dengan ke-Tuhan-an, seperti ilmu  tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Pendidikan agama, menurut Ibnu Khaldun, memiliki peran penting dalam memupuk persatuan demi berlangsungnya pendirian negara yang besar[15] (2) ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik instrument, yaitu  ilmu alat bagi ilmu-ilmu jenis  pertama di atas, seperti bahasa, matematika, ilmu logika yang membantu mempelajari filsafat dan lain-lain.
Ilmu-ilmu  intrinsic, sebagai ilmu-ilmu  primer,  harus lebih diutamakan, karena menjadi tujuan utama. Mempelajari ilmu alat tidak boleh melebihi ilmu yang utama. Oleh karena  itu Ibnu Khaldun hanya membolehkan pendalaman-pendalaman ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik melalui diskusi-diskusi  ataupun beradu argumentasi secara analitik-rasional tentang ilmu-ilmu tersebut.  Namun jika  untuk ilmu-ilmu ekstrintik (ilmu sekunder), Ibnu Khaldun  tidak membolehkan diskusi rasional itu, kecuali  jika diletakkan dalam kerangka kegunaan bagi jenis ilmu  intrinsik.Hal ini dilakukan karena  dengan diskusi akan mampu meningkatkan intelektualitas akademik seseorang, namun  jika  yang didiskusikan hanya ilmu alat, dikhawatirkan waktu akan habis percuma. 
Ibnu Khaldun  memiliki  pandangan demikian, karena telah mengamati kurikulum yang diajarkan baik di Maghribi, Andalusia, Afrika dan Timur. Fakta yang dijumpai Ibnu Khaldun mendorong untuk mengkritisinya, seperti  para peserta didik yang belakangan diamati Ibnu Khaldun banyak menghabiskan waktu hanya untuk belajar ilmu alat saja. Sedangkan di Maghribi yang membatasi pendidikan dan pengajaran al-Qur’an bagi anak-anak serta pengajaran al-Qur’an terpisah dari pelajaran lainnya. Kondisi ini mengakibatkan peserta didik bisa menjadi ahli al-Qur’an atau justeru drop out sebelum berhasil.[16]
e) Metode Mengajar
Metode mengajar, menurut Ibnu Khaldun,  harus berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan akal manusia. Akal berkembang dimulai dengan mengerti tentang masalah-masalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian meningkat mengerti tentang masalah yang agak kompleks, kemudian lebih kompleks.  Ibnu Khaldun mengungkapkan tiga langkah metode mengajar.  Pertama  adalah hendaknya kepada peserta didik diajarkan pengetahuan yang bersifat umum dan sederhana, khusus berkenaan dengan pokok bahasan yang tengah dipelajari. Pengetahuan ini hendaknya disesuaikan dengan tarap kemampuan intelektual peserta didik, sehingga tidak berada di luar kemampuannya untuk memahami. Hendaknya peserta didik belajar pada  tingkat pertama atau paling sederhana.
Kedua  adalah  seorang pendidik kembali menyajikan pengetahuan tersebut kepada peserta didik dalam tarap yang lebih tinggi dengan memetik intisari pelajaran, keterangan dan penjelasan yang lebih spesifik. Dengan demikian pendidik dapat mengantarkan peserta didik kepada tarap pemahaman yang lebih tinggi.  Ketiga  adalah  seorang pendidik mengajarkan pokok bahasan tersebut secara lebih terinci dalam konteks yang menyeluruh, sambil memperdalam aspek-aspek dan menajamkan pembahasannya. Tidak ada lagi yang sulit dan yang tidak diterangkan ataupun dibahasnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pembelajaran ini adalah kritik berdasar dari gaya para pendidik pada masanya.  Agai alternatif solusi, Ibnu Khaldun  menganjurkan dalam pembelajaran  yaitu  (1) jangan menggunakan metode indoktrinasi terhadap peserta didik, karena hal ini berarti mendidik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya hendaknya mengajarkan beragam keilmuan secara sedikit demi sedikit mula-mula disampaikan permasalahan pokok  tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik hingga selesai materi, (2) jangan banyak mengumpulkan ringkasan-ringkasan tentang bermacam-macam masalah keilmuan  karena hal ini akan mengganggu proses pembelajaran, peserta didik dihadapkan pada kerepotan dalam memahami istilah-istilah ringkas tersebut, (3)  jangan menggunakan metode menghafpal hal-hal atau materi yang tidak berguna dalam rentang waktu cukup lama  dan menyibukkan diri dengan banyak peristilahan tentang materi, (4) jangan memberikan alokasi waktu yang banyak untuk mempelajari ilmu-ilmu alat (ekstrinsik) melebihi ilmu-ilmu utama (intrinsik), sehingga menyebabkan hilang fungsi ilmu alat sebagai ilmu penunjang, (5) jangan  menggunakan metode militerisasi  karena pendidik bersikap keras terhadap anak didik, yang akan berdampak buruk bagi anak didik berupa kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.[17]
Berdasarkan uraian di atas,  pemikiran Ibnu Khaldun  tentang pendidikan Islam sudah jelas  dan formulatif menyangkut teori bahwa institusi-institusi keilmuan di samping mampu mencetak out put pendidikan yang berkwualitas, tetapi bisa jadi out put-nya justeru tidak berkualitas.  Fakta ini tidak mengherankan jika  pemikiran Ibnu Khaldun selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, mengingat Ibnu Khaldun  telah menjelajah  ke  seluruh wilayah dunia Islam, sehingga data yang  diperoleh  amat akurat. Metode mengajar Ibnu Khaldun menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan.
f) Hukuman
Ibnu Khaldun tidak setuju  jika  mendidik anak dengan menggunakan kekerasan, karena akan berpengaruh negatif  terhadap pertumbuhan anak, yaitu  menyebabkan kelemahan dan tidak sanggup membela kehormatan diri dan keluarga, karena anak tidak memiliki kemauan dan semangat yang berfungsi amat penting dan memperoleh keutamaan dan ahklak yang baik. Dengan kekerasan jiwa,  anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang lingkup hakikat kemanusiaannya[18]
Seorang pendidik hendaknya mengerti tentang perkembangan akal manusia secara bertahap, sehingga memungkinkan baginya untuk menerapkan perkembangan ini dalam mendidik anak. Di samping itu  Ibnu Khaldun  juga memberikan nasehat kepada pendidik agar tidak bersikap otoriter terhadap peserta didik yang masih kecil, karena paksaan terhadap tubuh di dalam upaya pendidikan akan sangat membahayakan peserta didik, terutama yang masih kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil akan menimbulkan kemalasan dan menyebabkan mereka berdusta serta membenci ilmu dan pendidikan.[19]
Ibnu Khaldun menganjurkan agar seorang pendidik tidak berlaku kejam dalam mendidik dan mengajar anak. Pendidik harus menyesuaikan penggunaan hukuman.  Hukuman tidak boleh dilakukan berpisah dari tujuan yang ingin dicapai. Pendidik tidak boleh menghukum sekedar menghukum saja. Prinsip hukuman sebagai alat mendidik penting, akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik,  kecuali dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain.
Ibnu Khaldun memandang hukuman adalah metode kuratif,  mengingat  tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki anak didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya. Hukuman harus diberikan  jika  anak didik sudah melakukan kesalahan yang benar-benar dapat mengganggu kelancaran proses belajar mengajar atau dapat mengganggu perkembangan jiwa anak. Karena hukuman bersifat kuratif, maka tidak boleh terlalu sering memberikan hukuman. Hukuman boleh dilakukan ketika dengan cara nasehat atau peringatan tidak berhasil. Namun yang perlu dicatat bahwa hendaknya hukuman yang dijatuhkan kepada  peserta didik dapat dipahami, sehingga peserta didik sadar dengan kesalahan yang telah dilakukan  dan tidak akan mengulangi hal yang sama.

C. Relevansi konsep pendidikan islam pragmatis instrumental menurut Ibnu Khaldun dengan pendidikan islam saat ini
Dalam setiap ruang dan waktu, pendidikan selalu mendapatkan perhatian dari setiap tokoh-tokohnya. Perbincangan tentang pendidikan seolah-olah tak pernah mati. Dalam kondisi apapun pendidikan tetap selalu dibicarakan. Baik dalam kondisi berkembang dan maju maupun dalam kondisi stagnan atau bahkan dalam kondisi terpuruk sekalipun.
Belum pernah didengar ada suatu masa yang disitu pendidikan tidak dibicarakan. Ini berlaku disemua negara dan disemua waktu. Pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah selesai (unfinished agenda). Pendidikan selalu terasa tidak pernah memuaskan. Pendidikan selalu dibicarakan. Pendidikan bahkan selalu menjadi bahan perdebatan.[20]
Hal ini menunjukkan signifikansi posisi dan kedudukan pendidikan dalam peradaban manusia. Sebagaimana tabiat perkara duniawi, pendidikan dalam realitanya mengalami kembang kempis. Situasi ini tidak terlepas dari pengaruh peranan tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam ranah pendidikan tersebut. Ketika tokoh-tokohnya kritis dan sensitive serta proaktif terhadap masalah pendidikan yang mengemuka, maka pendidikan yang ada pada masanya akan melahirkan hasil-hasil pendidikan yang memuaskan dalam setiap bidangnya. Sebaliknya, ketika para praktisi pendidikan tidak sensitive terhadap masalah pendidikan yang sedang mengemuka bahkan terkesan reaktif dan apriori maka hal itu akan mewariskan duka dalam bagi dunia pendidikan.
Diantara Relevansi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab. Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik benar-benar menguasai suatu bidangi lmu pengetahuan yang memang telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 faktor pendidikan yang ditawarkan Ibnu Khaldun yakni tujuan, pendidik, peserta didik, metode pengajaran dan materi pendidikan. Semua komponen pendidikan tersebut sesuai dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan sekarang. Namun, ada beberapa pemikiran beliau yang berbeda dengan para ahli pendidikan yakni tentang tujuan pendidikan.
Disini pemikiran Ibnu Khaldun lebih kepada realistis. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mengangkat derajat manusia. Namun, agar manusia mampu memperoleh penghasilan dan menghasilkan industri-indutri untuk eksistensi hidup manusia selanjutnya. Selain itu, pemikiran beliau tentang jangan berhenti terlalu lama dalam proses belajar, belum ditemukan dalam teori para ahli pendidikan masa sekarang. Serta hal-hal yang menghambat proses pendidikan belumlah berlaku pada masa sekarang yakni tentang banyaknya buku dan banyaknya ringkasan. Konsep pemikiran Ibnu Khaldun juga sangat relevan dengan konsep pendidikan masa sekarang, dan sangat cocok untuk diterapkan dalam kegiatan belajar dimana pun.
Keunikan pemikiran Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan ahli pendidikan pada masanya bahwa apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran - hingga kini masih diperdebatkan- ditentukan oleh bawaan atau kemampuan hasil belajar, dan Ibnu Khaldun tampaknya cenderung pada pendapat terakhir yaitu hasil kemampuan
Dengan laju perputaran kondisi jaman yang semakin berkembang dan berubah, tentu waktu yang telah berjalan tidak bisa digantikan oleh waktu sekarang, begitu  juga dengan kondisi pada masa lalu tidak bisa digantikan atau  relevan dengan masa kini. Oleh karena itu, dalam hal  cara berpikir dan cara memandang  seorang tokoh tentunya tidak  selalu relevan untuk diaplikasikan ke segala dimensi waktu dan ruang, terlebih  tokoh-tokoh pemikir klasik. 
Namun pemikiran Ibnu Khaldun banyak yang masih relevan jika diaplikasikan untuk pendidikan Islam masa kini. Hal ini bisa dilihat dalam hal menetapkan tujuan pendidikan. Tinjauan filsafat yang digunakan Ibnu Khaldun  sangat nampak, meski juga sangat pragmatis untuk memasukkan unsur mencari kehidupan dalam tujuan pendidikan. Begitu juga dengan pandangan  Ibnu Khaldun tentang materi dan kurikulum menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun  memang matang berpikirnya dan dalam pengajaran al-Qur’an patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain. Hal yang tidak berbeda jauh adalah  prinsip  Ibnu Khaldun  bahwa belajar bukan penghapalan di luar kepala,  namun pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. 
Ibnu Khaldun dalam menjelaskan materi dan kurikulum yang diajarnya dalam metode pendidikan selalu memperhatikan bahasa sebagai jembatan memperoleh ilmu. Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak sebaiknya  terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan. Menurut  Ibnu Khaldun,  mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca hal-hal yang tidak dimengertinya. 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat scara praktis. Ibnu Khaldun dalam Pemikirannya jika dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi praktis.
2.  Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Tradisi penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmiah memuat pengetahuan yang otentik.
3. pemikiran Ibnu Khaldun banyak yang masih relevan jika diaplikasikan untuk pendidikan Islam masa kini. Hal ini bisa dilihat dalam hal menetapkan tujuan pendidikan. Tinjauan filsafat yang digunakan Ibnu Khaldun  sangat nampak, meski juga sangat pragmatis untuk memasukkan unsur mencari kehidupan dalam tujuan pendidikan. Begitu juga dengan pandangan  Ibnu Khaldun tentang materi dan kurikulum menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun  memang matang berpikirnya dan dalam pengajaran al-Qur’an patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain. Hal yang tidak berbeda jauh adalah  prinsip  Ibnu Khaldun  bahwa belajar bukan penghapalan di luar kepala,  namun pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi.

B.  Saran
Kami menyadari bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Penyusun juga sadar bahwa dalam makalah ini masih belum sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun tetap penyusun harapkan. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mempelajari ajaran islam utamanya pendidikan islam dalam berbagai aliran pemikiran sebagai bekal dalam kehidupan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yusri Abdul Ghani. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
al-Abrasy, M. Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. A. Ghani dan Bahri  Johar. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. 
Ahmadi,  Thoha.  Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khadun.  Jakarta: Tim Pustaka Firdaus, 2001. 
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. 
Djamaluddin dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Imam dan Barizi Ahmad Tolkhah. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1997.
Rahman, Zainuddin A. Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. 
Ridha,  Muhammad Jawwad.  Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam.  Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. 
Suharto, Toto. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Sulaiman,  Fathiyah Hasan.  Pandangan Ibnu Khaldun tentang  Ilmu dan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro, 1987.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009. 
Wahyu, Martiningsih. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2009.




[1]Imam Bawani. Segi-segi Pendidikan Islam. Surabaya: al-Ihlas, 1987hlm 89
[2]Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.hlm.5
[3] Achmadi, Drs. Asmoro. Filsafat Umum. 2003. Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 54
[4] Sadulloh, Uyoh (2003). Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta hlm.125
[5] Achmadi, Asmoro (2003). Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada hlm 78
[6] Wello, Abd. Malik. 2011. “Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Islam”. Samata. Alauddin University Press.
[7] H. Ahmad Syar’I M.Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005) hlm 78
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hlm 67
[9] Ali al-Jumbulati dan ‘Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta 2002 M, Hlm. 196.
[10] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA :’UIN Sunan Kalijaga,   2008) hlm.17.
[11] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hlm 241
[12] Thoha Ahmadi, Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khadun  (Jakarta: Tim Pustaka Firdaus, 2001), hlm 752
[13] Nizar, Samsul dan Ramayulis,. Fisafat Pendidiklan Islam. Jakarta: kalam Mulia, 2009 hlm 65
[14] Rahardjo, Insan Kamil:Konsepsi Manusia Menurut Islam. Jakarta: Grafiti Press, 1987.  Hlm 54
[15] Zainuddin A. Rahman, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1992), hlm 164.
[16] Ibid, 761
[17] Ibid, 748-764.
[18] M. Athiyah al-Abrasy,  Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. A. Ghani dan  Bahri Johar (Jakarta:  Bulan Bintang, 1993), hlm 157
[19] Fathiyah Hasan Sulaiman,  Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan  (Bandung: CV.  Diponegoro, 1987), hlm 73.
[20] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosdakarya 2006 M, Hlm. 40.